Sumberpost.com – Masalah lingkungan hampir selalu tidak berdiri sendiri, namun juga bersentuhan dengan kehidupan politik nasional, sosial, ekonomi, dan hubungan internasional.
Akibatnya, permasalahan lingkungan sering kali hanya menjadi topik yang diperdebatkan namun tidak teratasi secara konkret. Membebankan tanggung jawab perbaikan lingkungan kepada satu pihak saja tidaklah cukup.
Kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat serta kepedulian dari pihak korporasi dan swasta sangat diperlukan dalam upaya perbaikan kerusakan lingkungan. Peran media dalam memberikan edukasi kepada masyarakat pun sangat penting dalam upaya perbaikan perilaku masyarakat terhadap lingkungan.
Oleh karena itu, upaya perbaikan lingkungan sangat tergantung pada kemampuan media memotret kompleksitas permasalahan lingkungan, agar informasi yang disampaikan tidak sekadar menjadi bagian dari perdebatan politik namun juga memiliki keberpihakan terhadap lingkungan.
Aqua Group, sebagai perusahaan yang menjalankan bisnis yang berkaitan dengan lingkungan turut berkomitmen dalam upaya pelestarian lingkungan. Komitmen tersebut ditunjukkan dalam bentuk pengelolaan daerah aliran sungai di lokasi pabriknya. Diharapkan kualitas dan kuantitas air tanah dapat terus terjaga sehingga semua pihak dapat memanfaatkannya secara optimal.
Sementara dalam rangka perbaikan perilaku masyarakat terhadap lingkungan, Aqua Group dengan bekerja sama dengan Kompas Gramedia Group mempelopori penyusunan “34 Prinsip Etis Jurnalisme Lingkungan“.
Buku panduan jurnalisme lingkungan tersebut disusun oleh mantan Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo, dengan mengangkat buah pikiran tokoh yang dikenal peduli terhadap lingkungan, di antaranya Mantan Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah Era Presiden Abdurahman Wahid Erna Witoelar, praktisi media sosial Enda Nasution, dan Oscar Matuloh, fotografer senior LKBN ANTARA.
Menurut Corporate Communications Director Danone Aqua Troy Pantouw, buku ini ditujukan untuk para wartawan, kalangan akademisi, dan mahasiswa serta para blogger.
Oleh karena itu buku panduan ini sangatlah penting agar para pewarta mengetahui kode etik dan rambu-rambu dalam konteks jurnalisme yang harus diperhatikan agar dipahami oleh korporasi yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan.
Persoalan lingkungan dalam pandangan Erna Witoelar harus diberitakan secara terus-menerus. “Dalam memberitakan persoalan lingkungan dibutuhkan kepekaan, pembelajaran khusus dan keahlian tertentu sehingga pemberitaan muncul dapat secara profesional mengawal proses penanganan masalah sampai munculnya solusi-solusi yang ditemukan kemudian,” jelas Erna.
Dari sisi kode etik, Oscar Matulloh menyebutkan bahwa meski kode etik tidak mengikat secara hukum, namun secara moral, kode etik menyerupai satu imbauan yang bisa menjadi patokan apakah terjadi pelanggaran atau tidak.
“Kode etik dalam jurnalisme, khususnya dalam jurnalisme fotografi, perlu dirumuskan lebih tertata agar jurnalis bisa mengacu pada suatu aturan yang komprehensif,” kata Oscar.
Menurutnya, bukan aturan yang tidak jelas, bahkan sering bersifat seperti karet. Hal itu kadang terjadi saat jurnalis foto dihadapkan pada peristiwa-peristiwa luar biasa. “Sering kali pertimbangan etika jurnalistik memaksa jurnalis justru memutuskan untuk menunda atau tidak memberitakan suatu peristiwa,” jelas Oscar.
Sumber: tempo.co