Kenapa IPK Kejam Bagi Mahasiswa? Buku Ini Jawabannya

Sumberpost.com | Banda Aceh – Dalam dunia akademik yang masih berstandar angka, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) kerap kali dianggap sebagai final dari sebuah perjuangan. Performa mahasiswa dalam perkuliahan masih dibayang-bayang dengan IPK.

Mahasiswa belajar bukan hanya untuk lulus, tetapi untuk memenuhi harapan orang tua, mengejar standar sosial, bahkan untuk menghindari rasa malu. Kelelahan mental, kecemasan, bahkan krisis kepercayaan diri sering disembunyikan dan bahkan tidak pernah dibahas di bangku kelas.

Karya ini mencoba menghadirkan suara-suara sunyi itu, suara dari mereka yang terus berjuang untuk memenuhi standar dunia perguruan tinggi yang tak pernah menilai perjuangan mahasiswa dari proses, melainkan hasil dari perjuanganya.

Buku ini dengan lantang mengajak kita untuk lebih peduli, lebih jujur, dan lebih lembut dalam memandang sesama. Mahasiswa bukan hanya soal belajar, tetapi juga soal bertahan, soal menjadi kuat tanpa kehilangan rasa, dan soal menerima bahwa tidak semua luka harus sembuh untuk bisa melanjutkan langkah.

Sekilas tentang penulis

Buku berjudul IPK tak pernah mencatat air mata ditulis oleh Fadhal Al Khalidi, mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.

Buku ini menjadi bukti perjuangan penyelesaian tugas akhirnya. Setiap narasi disusun paragraf demi paragraf di sela-sela penyelesaian skripsinya.

Menjadi mahasiswa yang aktif berorganisasi, membuat Fadhal bergulat di lingkungan para aktivis semasa perkuliahannya. Menurutnya, ada kesenjangan antara dunia akademik perguruan tinggi dan lingkungan aktivis mahasiswa. Hal ini kerap kali membuatnya merasa di kucilkan saat berada di kelas.

Karena alasan ini lah, Cikal bakal penulisan buku ini. Sebuah karya bertema refleksi bagi perguruan tinggi dan mahasiswa.

“Dalam dunia akademik, mahasiswa hanya menulis tentang biografi tokoh atau seputar kajian tentang pendidikan saja. Namun hampir tidak pernah menyinggung tentang kisah perjalanan mahasiswa yang dibungkus dengan tulisan akademik,” ujarnya sambil sesekali menyesapi kopi hitam di Warkop Cut Yah Pango sore itu (18/05/2025).

Lewat buku ini, Fadhal ingin menggambarkan bagaimana sosok mahasiswa yang sebenarnya. Setiap kerangka bab dan susunan narasi di sana berusaha menjelaskan, bahwasannya sosok mahasiswa yang baik bukan mereka yang mampu meraih nilai yang tinggi. Melainkan mereka yang mampu bertahan.

“Bukan siapa yang nilainya tinggi, tapi mereka yang mampu bertahan dan dapat merawat mentalnya,” kata Fadhal.

Lewat kisah yang dituangkan dalam karya ini, Fadhal, pria kelahiran Lhokseumawe ini ingin menginspirasi banyak mahasiswa, terlebih lagi mereka para aktivis. Yang memilih berlayar dibawah wadah organisasi demi mempertahankan hal-hal yang dibutuhkan mahasiswa.

Waktu, pikiran, mental dan segala hal yang mereka korbankan untuk orang banyak. Mereka yang merasa asing di ruang akademik. Tidak dianggap oleh dosen. Apresiasi perguruan tinggi apa lagi.

Fadhal sendiri sangat menggeluti dunia organisasi mahasiswa. Mulai dari lingkup Program Studi (Prodi), fakultas, hingga universitas. Ia juga pernah menjadi Mandaritas ketua mahasiswa tafsir Sumatra. Organisasi internal eksternal ia ikuti. Tanggung jawab yang ia pegang juga sentral, mulai sekretaris, wakil ketua hingga ketua organisasi mahasiswa.

Sore itu, sambil mengebu-ngebu, Fadhal menjelaskan arti Tridarma perguruan tinggi.

“Pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu dari ini pengabdian, dan itu adanya dalam organisasi, namun pengabdian mereka tidak pernah dihargai,” ujarnya.

Dalam hal ini, ada 3 bentuk kecerdasan manusia yang dijelaskan Fadhal. Kecerdasan intelektual, emosional dan spritual. Dengan ekspresi sedih, Fadhal mengatakan kampus hanya mengakui salah satu dari tiga bentuk kecerdasan itu.

“Hari ini yang diakui oleh ruang kampus hanyalah intelektual kecerdasan, padahal ketiga itu berkaitan. Itulah mengapa saya menganggap dunia pendidikan itu kejam,” ujarnya menghela nafas.

Ditambah lagi, katanya, tidak semua mahasiswa berasal dari latar belakang yang sama. Ada mereka yang harus memikirkan ekonomi dibalik angka-angka akademik yang menuntut sempurna. Semua mahasiswa memiliki proses dan gaya berbeda untuk menyelami dunia pendidikan.

“Bagi mereka yang bekerja sambil kuliah, memiliki satu waktu agar fokus untuk buat tugas secara maksimal itu sulit. Karena yang diperjuangkan bukan hanya IPK namun ekonomi. Sayangnya IPK lah jadi tolak ukur keberhasilannya,” pungkasnya sore itu. []

Reporter: Rauzatul Jannah

Editor: Riska Amelia