Toksisitas Labelling dalam Pergaulan

Sumberpost.com | Banda Aceh – Kata “labelling” mungkin sudah sangat familiar bagi kita. Istilah tersebut juga sering kita dengar bahkan lafalkan sehari-hari. Eits, tunggu dulu, yang dimaksud labelling disini bukan tanda pengenal produk (label produk), tapi pemberian julukan kepada seseorang.

Mari kita berkenalan terlebih dahulu, teori labelling dikemukakan oleh sosiolog dari University of California yang bernama Edwin M. Lemart. Menurut beliau, labelling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/label dari masyarakat kepada seseorang yang cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.

Kita dapat dengan leluasa menemukan contoh praktik labelling dalam pergaulan sehari-hari. Kronologisnya dimulai dengan penyimpangan primer yang dilakukan secara sadar oleh seseorang. Kita ambil contoh ketika siswa gotong-royong membersihkan lingkungan sekolah.

Ketika gotong-royong sedang berlangsung, ada seorang siswa katakanlah namanya A duduk-duduk tidak membantu temannya yang lain. Lantas si A dijuluki dengan “pemalas”. Boleh jadi waktu itu nurani si A sebenarnya ingin membantu namun tubuh kurang sehat.

Akan tetapi, ketika teman-teman si A memberinya label sebagai pemalas, dia merasa “pemalas” merupakan karakter sejati dirinya dan terjadilah penyimpangan sekunder. Apabila si A telah terpengaruh dengan labelling tersebut, dia akan terus menjalani gaya hidup yang menyimpang seperti yang dilabelkan.

Pemberian label negatif tentu memberi banyak dampak buruk, hal tersebut juga berlaku sebaliknya dimana label positif ternyata memberi tidak sedikit dampak positif. Ada penelitian menarik yang dilakukan William J Chambiss terhadap 8 siswa nakal di suatu sekolah menengah. Siswa tersebut terkenal dengan kenakalannya, mulai dari vandalisme, mabuk-mabukan, membolos dan lain-lain.

Siswa-siswa nakal tersebut oleh William J Chambiss dijuluki “Saints” (orang-orang suci dan mulia). Peneliti kemudian mengamati dampak setelah penjulukan tersebut yang ternyata sangat mencengangkan. Awalnya, siswa-siswa tadi tidak ingin masyarakat yang mengenal mereka sebagai anak baik berubah pikiran.

Mereka begitu berhati-hati dalam aksi-aksi kenakalan karena senang dengan julukan anak baik. Lambat laun siswa-siswa tersebut malu melakukan kenakalan. Akhirnya mereka berhasil meninggalkan kebiasaan buruk tersebut dan seutuhnya menjadi “Saints”.

Masyarakat maju kita lihat saat ini sangat berhati-hati dalam memberikan lebel. Mereka cenderung memberi julukan-julukan yang positif dengan harapan memberi dampak positif pula. Hal tersebut diterapkan dalam pendidikan, pergaulan sehari-hari, bahkan pemerintahan.

Akan tetapi, label negatif di masyarakat kita ibarat toksik (racun) yang beredar tanpa antidot. Kita cenderung menganggap julukan itu sebagai omong kosong yang tidak berarti apa-apa, hanya untuk kesenangan semata.

Label negatif membuat kepercayaan diri seseorang hancur dan berimbas pada penurunan produktivitas. Pergeseran cara berpikir inilah yang perlu dibumikan dalam setiap elemen masyarakat mengingat label negatif menghambat upaya menuju kemajuan.

Sebelum racun yang bernama labelling ini semakin luas dimasyarakat, kita harus mengetahui cara mengatasi efek negatif dari labelling tersebut. Berikut adalah 5 cara menghentikan kebiasaan memberi label negatif:
Posisikan diri sebagai orang yang diberi label.

Bayangkan seandainya kita dijuluki sebagai penipu, tentu kita merasa sedih dan kesal apalagi itu suatu yang berlawanan dengan realita yang ada. Jangan pernah berburuk sangka kepada orang lain, apalagi kita tidak sepenuhnya mengerti sesuatu yang mereka perbuat. Senantiasa berhusnudzan kepada orang lain adalah tindakan yang bijak.

Bayangkan dampak yang timbul dari label yang kita berikan. Boleh jadi itu hanya sekali terucap, namun berimbas panjang karena orang lain meneruskan label yang kita mulai. Kepercayaan diri orang yang kita beri label pun akan berkurang akibat julukan negatif tersebut.

Kita harus memahami bahwa nilai seseorang lebih dari apa yang dilabelkan, dimana setiap orang punya kelebihan masing-masing. Ingatlah bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan dengan potensi yang menakjubkan. Tidak menutup kemungkinan orang yang kita beri label kelak jauh lebih sukses dari dugaan kita.

Jangan ragu untuk meminta bantuan teman terpercaya untuk mengingatkan bila kita sulit berhenti memberi label buruk kepada orang lain. Lebih cepat lebih baik bagi diri pribadi dan masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan memberi label negatif melalui 5 cara tersebut.

Memang bukan perkara mudah mengubah sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Akan tetapi kita harus paham bahwa kita bertanggung jawab untuk membuat bangsa ini lebih baik, minimal dimulai dari diri sendiri. InsyaAllah masyarakat kita dapat menangkal efek negatif dari labelling. []

*Ditulis Oleh Qathrul Mubarak, S.Ked, Alumni S1 Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala