Potret Pernikahan Dini di Aceh dan Peran Jurnalis Perempuan

Sumberpost.com | Banda Aceh – Aceh Bergerak adakan diskusi yang bertemakan “Peran Media dan Jurnalis Perempuan Mencegah Perkawinan Usia <19”. Diskusi ini berlangsung di Sekretariat Aceh Bergerak, Lambhuk, Banda Aceh, Jumat (24/05/2024).

Diskusi yang mengangkat potret pernikahan dini di Aceh serta respon dari organisasi profesi jurnalis yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Banda Aceh ini diisi oleh Meutia Juliana, selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Aceh, Gebrina Rezeki staff dari Program Flower Aceh dan Kepala sekolah Hak Asasi Manusia (HAM) Flower Aceh, Yayan Zamzami dari AJI kota Banda Aceh serta Ihan Nurdin selaku jurnalis perempuanleuser.com.

Eva Hazmaini, Ketua Aceh Bergerak menyampaikan, dengan digelarnya diskusi mengenai peran media dan jurnalis dalam menggaungkan pernikahan anak usia dibawah 19 tahun, bisa menghasilkan sebuah ruang dalam penanganan hal tersebut.

“Ada ruang yang bisa kita hasilkan dari diskusi hari ini,” ucap Eva.

Gebrina, salah satu narasumber dari komunitas Flower Aceh angka perkawinan anak di Aceh terbilang tinggi. Mirisnya hal itu dianggap lumrah oleh para orang tua untuk menikahkan anaknya dibawah umur 19 tahun. Padahal dampak yang timbul dari pernikahan dini kebanyakan merugikan perempuan itu sendiri.

“Dampak dari pernikahan usia dini sendiri bisa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), masalah psikis, gangguan reproduksi, kematian ibu dan anak, putus sekolah, masalah ekonomi, emosi yang tidak stabil dan komunikasi yang salah kemudian terjadilah KDRT, dan lagi KDRT korbannya perempuan, yang rugi adalah perempuan,” jelas Gebrina.

Menanggapi hal tersebut, Yayan Zamzami jurnalis AJI Kota Banda Aceh menyampaikan bahwa isu-isu KDRT, kekerasan seksual lebih menonjol dan menjadi pusat perhatian diantara jurnalis perempuan. Namun hal tersebut hanya digali dipermukaan saja bukan dari akarnya. Media-media kadang hanya mementingkan fantastime dari sebuah pemberitaan itu saja.

“Misalnya korbannya perempuan, kenapa dia bisa menjadi korban, bagaimana pernikahannya, berupa usia dia menikah, terus didukung ga pernikahannya, gimana support systemnya, sehingga hal itu terjadi kepadanya sebagai korban. Hampir tidak pernah itu digali dari hulu yang kita tau hilirnya saja,” ucap Yayan.

Selanjutnya, Meutia Juliana Kepala Dinas PPA Aceh, menjelaskan bahwa pernikahan anak usia dini merupakan praktek kekerasan terhadap anak itu sendiri. Hilangnya hak-hak anak yang seharusnya masih bisa mereka dapati direnggut karena pernikahan dini.

“Perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak karena dengan adanya hal tersebut, ada hal-hal yang hilang terhadap pemenuhan hak anaknya sehingga terjadi kekerasan. Terutama hak hidup. Hak perlindungan, hak tumbuh dan hak partisipasi,” tegas Meutia.

Adapun peran jurnalis dalam mencegah hal tersebut, disampaikan oleh Ihan Nurdin selaku jurnalis perempuanleuser.com. Terdapat 3 poin utama yang disampaikan olehnya yaitu:

  1. Memberitahukan ke media
  2. Mengadvokasi dan mengedukasi agar kondisi dan kejadian yang sama tidak terulang lagi.
  3. Mengungkap kasus, dengan melakukan investigasi dan mengupgrade diri untuk meningkatkan kapasitas diri supaya isu yang ditulis menjadi berbeda.

“Sebagai jurnalis, kita harus mengetahui bahwa selain untuk menyampaikan informasi, media juga berfungsi pendidikan. Sebagai jurnalis tentunya kita melihat sebuah peristiwa sebagai tragedi, tetapi akan lebih menarik apabila menyajikan apa dibalik sebuah peristiwa,” tutup Ihan. []

Reporter: Rina Hayati
Editor : Anzelia Anggrahini