Dua Negara Dengan Faktor Pembeda Dalam Menangani Covid-19

Sumberpost.Com- Hari ini sejarah mencatat sebuah tragedi baru yang secara dramastis mengubah cara hidup jutaan manusia di dunia. Seluruh dunia sedang berfikir, mengolah, dan mencoba  berbagai macam cara agar terlepas dari pandemi ini. Ribuan nyawa melayang setiap harinya, tercatat saat ini Indonesia positif terinfeksi Covid-19 menginjak angka  30 ribu lebih jiwa. Apakah ini angka yang wajar ? mari kita lihat perbandingannya dengan negara yang pertumbuhan Covid-19 sempat menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi setelah China.

Korea selatan, Negeri Gingseng tersebut berhasil menurunkan angka kasus Covid-19 yang terbilang tinggi dengan tingkat kematian rendah yakni 1,65 persen dari total 9.786 kasus. Pertanyaan yang keluar dibenak saya apa faktor pembeda negara Indonesia dengan Korea Selatan dalam menangani permaslahan Covid-19 ini.

 Pemerintah Indonesia telah banyak mengambil langkah guna menekan pertumbuhan Covid-19, namun dinilai lambat dalam menangani permasalahan.  Bisa kita lihat ketika awal sekali Covid-19 muncul, pemerintah tidak mengambil langkah untuk menyiapkan mitigasi resiko , namun pemerintah dan pejabatnya cenderung meremehkan Covid-19  dan bahkan sempat mengatakan bahwa orang Indonesia kebal terhadap pandemi tersebut.

 Dalam koordinasi penanganan pandemi ini juga terlihat gagap dan miskomunikasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, kementrian kesehatan dengan instansi lainnya. Kebijakan pemerintah keliru dalam merespon virus ini pada awal masuk, dimana pemerintah bukannya menfokuskan perhatian dan dana ke kasus Covid -19 akan tetapi pemerintah malah memberikan insentif yang tak masuk akal untuk industri pariwisata termasuk membayar buzzer.

Kesalahan premis dan kegagapan ini makin diperparah dengan kebijakan pemerintah yang secara sengaja membatasi informasi mengenai ancaman dan perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Pemerintah berulang kali menyerukan ancaman hoaks. Sayangnya kekhawatiran akan penyebaran hoaks, tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif. Ini terlihat dari minimnya informasi mengenai dampak virus ini terhadap pasien dan lokasi-lokasi penularannya.

 Kebijakan ini sangat bertolak belakang dengan praktik di negara lain yang sama-sama sedang menanggulangi Covid-19. Pemerintah Korea Selatan misalnya, Langkah Korea selatan dalam menghadapi Covid-19 sangat realistis. Tiga hari setelah otoritas China mengumumkan kasus virus corona di Wuhan, Korea selatan langsung menjalankan program tes swab massal tanggal 2 Januari 2020. Padahal, kasus pertama di Negeri Ginseng itu baru terdeteksi tanggal 20 Januari 2020 pada salah seorang jemaat rumah ibadah, dan secara berkala menyiarkan bukan hanya kasus tetapi juga lokasi dari ditemukannya kasus.

Informasi yang terang, disertasi dengan kepekaan untuk mencegah kepanikan dan stigma terbukti sangat bermanfaat untuk membangun kewaspadaan dan mekanisme kehati-hatian publik. Ketertutupan informasi, justru akan memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah.

Dalam banyak pengalaman sejarah, informasi yang asimetris justru merupakan penyebab dari parahnya bencana.

Bandingkan dengan Indonesia ketika belum ada kasus dan setelah ada kasus yang terjadi adalah perdebatan yang tak berujung, terutama di layar televisi. Masyarakat pun akhirnya terbelah dengan tidak menuruti anjuran pemerintah karena pro-kontra yang disebarluaskan oleh media, terutama televisi, yang sebagian justru ‘menyerang’ program pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19. Pemerintah kita terus berupaya dalam menangani Covid-19 akan tetapi korban terus bertambah dikarenakan masih ada kasus positif tanpa gejala atau tanpa keluhan yang masih berada di tengah masyarakat .

Yang kedua, masih adanya masyarakat yang rentan tertular Corona namun tidak disiplin dan patuh. Di Indonesia hak dan privasi pasien Corona dirahasiakan, berbeda dengan Korea Selatan dimana mereka sangat transparan dalam hal informasi ini . Contoh paling nyata adalah lokasi GPS dari seorang yang terkonfirmasi Covid-19 bisa dilihat di aplikasi tersebut, walaupun dipertanyakan dari perspektif privasi dan hak pasien akan tetapi ini sangat membantu orang lain dalam menghindari Covid-19, apakah Indonesia bisa menerapkannya?.

 Mengingat banyak masyarakat Indonesia yang tidak patuh dan bisa saja mengucilkan pasien terinfeksi Corona, dalam pengungkapan identitas pasien virus Corona merupakan pelanggaran hak-hak pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sesuai pasal 17 huruf h dan I, dan informasi pribadi yang dapat dikecualikan untuk dibuka adalah apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang.

 Apakah Covid-19 membahayakan posisi si penderita? Menurut saya dizaman yang berteknologi seperti saat ini mungkin hal yang bisa kita contohkan adalah tindakan dari pemerintah Korea Selatan dalam hal tranparansi informasi yang terkonfirmasi Covid -19 dengan memanfaatkan GPS saja untuk menjada jarak terhadap pasien yang positif Covid-19, untuk permasalahan seperti dikucilkan dan penekan mental lainnya pemerintah harus mensosialisasikan bahwa yang menjadi musuh itu  virusnya bukan orangnya. 

Kecepatan penularan Covid-19 ini begitu tinggi. Ketika kita tidak sadar dan tidak tau siapa yang terkena Covid-19 kita seperti buta dan tidak sadar bahwa bahaya berada di samping atau didekat kita.

UU tersebut justru bisa jadi salah satu faktor yang membuat penularan Covid-19 menjadi cepat. Keterlambatan penanganan Covid-19 bisa meruntuhkan negara kita bukan negara kaya yang punya banyak tabungan. []

Penulis: Rizki Akbar, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Editor: Saadatul Abadiah