Serba-Serbi Menjelang Lebaran di Tengah Pandemi

Sumberpost.com | Banda Aceh – Eid Mubarak merupakan momen paling berharga dalam diri setiap manusia yang merayakannya, yang berlangsung setahun sekali. Semua orang menyambut bulan ramadan dengan penuh kegembiraan.

Tahun-tahun sebelumnya, ramadan disambut dengan begitu meriah dan suka cita, tak seperti tahun ini, 1441 H atau 2020. Perubahan kerap terjadi karena ulah virus corona yang membuat ruang antar manusia dibatasi semenjak diberlakukannya sosial distancing, agar mengurangi rantai penyebaran virus dimaksud.

Pemerintah telah memberlakukan larangan mudik terhitung sejak tanggal 24 April 2020.

Tidak ada yang menyangka bahwa pembatasan sosial berlangsung sampai bulan suci Ramadan bahkan sampai lebaran tiba. 

Beberapa hari sebelum lebaran, sudah menjadi tradisi untuk membuat berbagai olahan makanan, mulai dari makanan berat hingga ringan. Seperti kue kering, bolu, lontong dan sebagainya. Saat itu pula, ibu mengajakku untuk berbelanja ke pasar.

“Putar lewat jalan simpang empat aja,” kata ibu mengharuskanku untuk melewati jalan yang lebih jauh karena jalan biasa yang kami lewati sangat macet dan akan menjadi lama untuk dilalaui.

“Seperti tidak ada corona,” kata ibu sambil tertawa melihat ribuan manusia saat sampai di pasar.

Aku pun mengiyakan dengan ikut tertawa dan melanjutkan perjalanan. 

Mungkin masyarakat masih belum terbiasa jika berlebaran tanpa baju baru dan kue lebaran. Sehingga mendekati lebaran, masyarakat tidak peduli apa itu corona, termasuk kami sendiri.

“Dilarang masuk jika tidak menggunakan masker,” slogan yang tertempel rapi dibalik etalase sebuah toko cina di pinggir jalan. 

Dengan naifnya aku tidak berani masuk karena tidak menggunakan masker saat itu, sedangkan ibu langsung masuk dan meninggalkanku begitu saja diluar toko.

Tak cukup sekali, keesokan harinya kami kembali berbelanja ke pasar. Seperti biasanya, bahkan lautan manusia dua kali lipat lebih banyak dibandingkan hari sebelumnya dan kali ini aku menggunakan masker.

Beberapa ruas jalan terlihat di blok untuk memperlancar arus kendaraan lalu lintas. Kemacetan terjadi disepanjang jalan.

Tampak orang-orang yang menggunakan masker baik dari penjual maupun pembeli. Namun Ada juga yang tidak memakai masker. 

Hampir semua toko di pinggir jalan menyediakan alat cuci tangan. Mulai dari yang sederhana terdiri dari air seadanya, sabun dan air di dalam galon, sampai salahsatu swalayan yang menyediakan air, sabun, dan alat pengering elektronik.

Berbeda jika berbelanja di pasar tradisional yang tidak memfasilitasi alat cuci tangan di setiap lapak pedagang, melainkan hanya terdapat satu gentong besar berisi air dan sabun untuk mencuci tangan yang terletak sebelum masuk lorong pasar tradisional.

Keamanan pribadi memang tidak begitu terjamin jika berada di keramaian. Semua orang tentu khawatir, baik itu dari penjual maupun pembeli itu sendiri.

Harga sembako melunjak drastis mendekati lebaran. Bawang merah dan gula pasir contohnya, seorang penjual yang tidak diketahui namanya mengatakan, kenaikan harga gula pasir meningkat akibat kurangnya stok gula yang datang dari agen gula.

“Harga gula meningkatkan karena stok gula tidak sebanyak dulu lagi, kali ini dibatasi,” katanya.

Ibu bilang, lontong merupakan makanan yang wajib ada saat lebaran, tidak sah rasanya jika lontong tidak tersedia.

“Kalau tidak ada lontong, bisa tidak sah,” ungkap ibu sambil tersenyum.

Jika biasanya ibu memasak lontong di dalam daun pisang dan direbus diatas kompor, kali ini ia ingin membuat terobosan baru yaitu memasak lontong di dalam rice cooker.

Ibu pun memasukkan 2 mug beras dengan air yang memenuhi rice cooker dan tidak lupa dengan kapur sirih.

“Alhamdulillah, akhirnya semua selesai ya,” ujar ibu merasa bahagia karena berhasil mengolah berbagai makanan untuk besok.

“Allahuakbar..Allahuakbar..Allahuakbar.. Lailahaillallaah…,”

Pagi yang begitu indah, gema takbir berkumandang dimana-mana, menandakan hari kemenangan telah tiba.

Tak seindah takbir di pagi hari, raut kekesalan terpancar dari wajah ibu tatkala melihat lontong yang dibuat dengan penuh kasih sayang itu tidak jadi alias terlalu lembek.

Entah apa yang menyebabkan lontongnya menjadi seperti itu, intinya, nasi sudah menjadi bubur, semua harus diikhlaskan.

Dibalik lontong yang tidak jadi, tahun ini tersedia kue lebaran seperti nastar, cantik manis, peyek, kacang-kacangan dan masih banyak lagi.

Berbicara tentang kue lebaran, perlu diketahui bahwa sepotong nastar ukuran sedang mengandung kalori sebanyak 70 atau setara dengan ⅓ mangkuk nasi. Begitu pula dengan kue-kue lainnya. 

Itulah mengapa lebar-an sering terjadi saat lebaran. Sepotong nastar saja bisa buat over weight, jadi harus waspada ya.

Tapi bukan berarti tidak memakan apapun di hari raya hanya karena takut berat badan meningkat karena ini adalah hari kemenangan kita semua sebagai umat Islam.

Berziarah kubur, berkumpul bersama keluarga besar merupakan hal yang lumrah bahkan wajib dilakukan agar silaturahmi tetap terjaga. 

Tahun ini tidak semua saudara ikut berkumpul, mereka yang jauh di perantauan kali ini lebih memilih merayakannya disana daripada pulang kampung.

Jika terpaksa melakukan mudik keluar daerah, maka di setiap perbatasan antar kota satu dengan kota lainnya, kita akan dilakukan pengecekan suhu tubuh. Suhu normal yaitu 36 sedangkan suhu diatas 36 bisa dicurigai dan harus diamankan dan tidak dibenarkan untuk pergi dari posko pemeriksaan tersebut. 

Entah sampai kapan ini semua akan berakhir, bahkan kata Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan, situasi dunia setelah pandemik virus corona tidak akan sama seperti dulu. 

Dilema, galau dan insecure mungkin menyerang beberapa umat manusia, rasa ingin yang kuat untuk kembali beraktivitas seperti dulu sebelum corona menyapa. 

Tetaplah semangat dan terus berdoa agar pandemi COVID-19 berakhir. []

Penulis: Hasni Hanum, UKPM Sumberpost UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Editor : Cut Della Razaqna