Aktivitas Seulaweuet Keu Syuhada

Banda Aceh – Sanggar Seni Seulaweuet (S3) Mahasiswa IAIN Ar-Raniry,  memperingati delapan tahun musibah gempa dan tsunami Aceh di halaman Mesjid Raya Baiturrahman (27/12). kegiatan ini adalah sebagai bentuk keprihatinan mahasiswa atas musibah yang terjadi delapan tahun silam.

”Kita mengangkat tema “seulaweuet Keu syuhada” dengan maksud agar kita terus ingat dan mendoakan para korban tsunami 8  tahun lalu, dan yang masih diberi umur panjang agar selalu taba, hidup harus tetap dijalani, kami memilih tempat di halaman Mesjid Raya Baiturrahman karena tempat ini adalah salah satu saksi bisu dahsyatnya tsunami” Kata Farhan Jihadi, kabid Akting S3/Choreografer.

Acara yang berlangsung setelah Shalat ‘Asar ini, dimulai dengan membacakan lantunan ayat suci Al-Quran kemudian diterjemahkan dan dilanjutkan dengan theatrikal puisi historistis tsunami 2004 lalu dengan dibacanya “Hu Allah Hu Allah Hu Allah Hu Allah” sehingga diselingkungan acara tersebut suasana berubah seakan menggambarkan kisah tsunami, tidak sedikit penonton dan juga pengisi panggung yang terbawa sehingga mengeluarkan air mata.

Diakhiri teatrikal puisi, semua pengisi panggung berjatuhan, melambangkan mayat yang berhamburan setelah diterjang tsunami, kemudian seseorang membangunkan kembali dan membuka lembaran baru tahun 2012 melambangkan Aceh sudah bangkit, dilanjutkan dengan tampilan tarian tradisional Aceh, tari Rapa’i Geleng dan lantunan syair panjang berbahasa Aceh, melambangkan masyarakat Aceh sudah benar-benar bangkit dan bisa berkarya kembali.

“Intinya doa untuk para syuhada, menghadirkan spirit menggambarkan kebangkitan masyarakat Aceh dalam gabungan antara lain  membaca ayat suci al-qur’an, teatrikal puisi, syair panjang berbahasa Aceh, tarian rapai geleng, disini yang kami tonjolkan adalah syair dari gerakan tarian tersebut yaitu “Naggroe Aceh nyoe tempat lon lahe, bak ujong pante pulau sumatra, di ‘ek ie raya habeh dum cebree, saban tapike aceh beujaya” (negeri aceh ini tempat saya lahir, di ujung pantai pulau sumatra, tsunami sudah mencerai-beraikan kita, sekarang sama-sama kita pikirkan untuk menjayakan aceh) dan masih banyak syair lainnya kemudian doa untuk korban tsunami dan membagikan “bugoeng peutuah”(bunga yang bertuliskan kata-kata petuah dan kata-kata semangat). ” Kata Muksalmina, Ketua Umum S3.

Selain itu, kelompok seulaweuet juga menanamkan bunga kertas sekitar 600 batang, di halaman Mesjid Baiturahman. disetiap bunga itu ditambahkan pepatah berbahasa Aceh “Bek le hai rakan geutanyoe seudeh, Allah geugaseh geutanyoe dumna” (wahai kawan kita jangan lagi bersedih, kasih sayang Allah selalu kepada kita semua) dan masih banyak lagi pepatah-pepatah yang berbeda-beda. Bunga yang ditaman semacam garis seluas lima kali delapan meter (5m X 8m) untuk panggung.

Bunga berwarna putih, krem dan warna merah jambu, bunga warna putih adalah bunga yang sangat banyak diantara tiga warna itu yang mengartikan warna berduka artinya saat Aceh dilanda tsunami, sedangkan krem mengartikan pembangunan, artinya masyarakat Aceh pada masa membangun dari kesedihan dan warna merah jambu mengartikan ceria, masyakarat Aceh sudah bisa berjaya dan berkreatifitas.

Kemudian orang itu membangunkan puluhan mayat yang berjatuhan pada saat itu semua berwarna putih, perempuan mengenakan mukenah berwarna putih dan laki-laki mengenakan baju putih dan celana tarian, membuka lembaran baru menjadi 26-12-2012 dan membangunkan mayat mengartikan Aceh sudah ditinggalkan kenangan delapan tahun lalu dan Aceh sudah bangun dari keterpurukan.

Setelah semua dibangunkan, perempuan duduk melingkar dibelakang laki-laki, laki-lakinya mengambil rapa’i gelang dan memainkan pukulun Bhum Phoeng (suara pukulan rapa’i) dan kemudian menampilkan tarian rapa’i geleng dengan lirik didalamnya “naggroe aceh nyoe tempat lon lahe, bak ujong pante pulau sumatra, di ‘ek ie raya habeh dum cebree, saban tapike aceh beujaya” (negeri aceh ini tempat saya lahir, di ujung pantai pulau sumatra, tsunami sudah mencerai-beraikan kita, sekarang sama-sama kita pikirkan untuk menjayakan aceh) itu mengartikan Aceh sudah benar-benar bangun dan bisa berkreatifitas seperti masyarakat di luar Aceh.

Penulis adalah Rahmat Saputra, salah satu pemain rapai pada acara “Seulaweuet Keu Syuhada”  Kuliah di Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry