Mengulas Aceh 2012 di Lingka Kupi

Banda Aceh – Hujan baru saja reda. Secangkir Kopi Aceh  pantas menawarkan kehangatan di  Warung Seumikee, sore ini. Tak disangka cuaca terik kemarin tanpa isyarat. Sejak siang,kawasan Banda Aceh diguyur hujan lebat.

Masih sepi, Café yang bertempat di Jalan Lingkar Kampus ini belum terisi penuh oleh pengunjung. Saya menoleh ke arah jam dinding, pukul 15.10. Di sudut kiri kafe tersusun sofa saling berhadapan. Disitulah terlihat Alkaf yang sedang berbincang dengan salah seorang pemateri yang hadir, M Nur Juli. Sembari mengisi kekosongan, kucoba mencermati suasana sekeliling kafe.

Jak Keuno laju bang, lon bak Lingka Kupi, uroe nyoe na acara diskusi akhir tahun kilas balek thon 2012 meunan, di peugot le awak aceh institut,”kata seseorang tepat di meja belakang. Ia tengah berbicara lewat telepon genggam. Meski tak kuketahui namanya, yang pasti lelaki ini terlihat sangat antusias dengan diskusi beberapa menit lagi.

Namun hingga pukul 16.30, satu persatu pengunjung tiba di Kafe, pemateri belum sepenuhnya hadir. Untunglah 10 menit kemudian, Alkaf meraih mikrofon untuk membuka acara. Saat itu telah hadir 2 orang pemateri, M Nur Juli. Sosok ini lebih dikenal sebagai salah satu tokoh anggota team perundingan damai GAM-NKRI. Seorang lagi Rukiyah, Ketua dari Keluarga Ureung Gadoh Aceh (Kagundah). Fajran Zain, Analis Politik Aceh Institut selaku pemateri ke tiga belum tiba. Tanpa memakan waktu lebih lama lagi, pengunjung membetulkan posisi duduknya.

Di 31 Desember ini, Aceh Institute menggelar Refleksi Akhir Tahun, diskusi bersama mengupas berbagai peristiwa faktual di Aceh dalam 2 jam kedepan. Banyak hal akan dibahas, terkait tema “2012: tahun kekerasan politik, agama, tahun diskriminasi korban pelanggaran HAM Aceh

 **

M Nur Juli hadir dengan makalah yang telah dibagikan kepada seluruh pengunjung. Sebagai pandangan umum, Juli mengawali diskusi dengan menyoroti dualisme dalam karakter bangsa Aceh. Dimana di satu pihak, Aceh secara historis berperan sebagai daerah yang inklusif terhadap datangnya pengaruh perdagangan maupun budaya yang dibawa dari Barat maupun Timur. Di lain pihak, Aceh juga bangsa yang konservatif. Kedua peran ini dalam realitasnya saling tarik-menarik yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dan konflik.

Lebih lanjut, Nur Juli dalam pemaparannya mengutip perkataan dari Carmel Budiarjo, seorang pejuang HAM. Dalam seminar tentang Aceh di Bangkok pada 1999 silam, yang menyampaikan bahwa pada Orde lama dan Orde baru, indonesia telah terbentuk sebagai negara yang tegas dalam kesatuan dan sentralisasi. Segalanya dilakukan atas nama kepentingan pusat. Lantas, apa saja yang menyimpang dari filosofi tersebut, maka akan diserang, bahkan dengan pelanggaran HAM sekalipun. Masalah terletak pada pandangan pemerintah dan orang didalamnya bahwa mereka lah yang selalu sebagai pelaksana negara kesatuan.

Dalam era Reformasi, Indonesia sekaligus menerapkan pola Desentralisasi.

”RIS adalah negara yang berdiri setelah Proklamasi, bukan RI. Jadi proses reformasi berjalan ke pangkal, setelah tersesat.”kata Nur Juli sambil membacakan makalahnya kepada para hadirin.

Tak pelak, dari proses transisi tanpa rencana yang matang telah menyisakan banyak konflik di Aceh. Dari Etnis hingga agama yang juga bersifat kolektif telah membahayakan kestabilan politik masyarakat sekaligus mengganggu basis multikultural dan budaya konsensus dalam masyarakat inonesia.

Polarisme agama semakin terasa saat pemerintahan otoriter Soeharto membuka ruang yang luas untuk sekulerisme. Tak lama setelah itu, muncul perjuangan atas nama agama yang dipimpin oleh ulama-ulama yang takluk di bawah pemerintah.

Di masa transisi pasca bencana alam, islam di Aceh seolah menjadi lebih radikal, semangat yang lahir semata untuk memuluskan persaingan politik antar kelompok yang tengah berseteru. Dalam makalah tersebut, Nur Juli memberitahukan bahwa semangat itu datang dari pengaruh yang dibawa oleh kelompok-kelompok dari luar. Dengan dana besar yang dimilikinya, perselisihan agama yang mulanya berkisar di kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan, diekspor ke Indonesia.

”Dalam istilah sosiologinya disebut Born Again Zeal.”Tegas Nur Juli.

Beliau mengawali dari pengaruh tersebut lah muncul fanatisme agama dari penjelmaan semangat yang radikal menjadi fanatisme yang tak jelas arahnya. Nur Juli mencontohkan dalam makalahnya, bagaimana masyarakat mengeroyok pelaku maksiat tanpa periksa, memandikan dengan air got dan sebagainya.

”Islam seakan menjadi merk yang harus ditunjukkan sebagai orang menggayakan pakaian baru,”kata Nur Juli.  Ia meyakini Aceh sudah seperti ladang provokasi. Atas nama agama, apapun dilakukan meski pada akhirnya itu adalah tindakan tidak islami. Wajar para pihak memanfaatkan kesempatan itu untuk memudahkan tujuan politiknya. Di akhir paragraf Nur Juli menulis, ’islam disalahgunakan menjadi senjata ampuh untuk membungkam pendapat orang lain.’

Beberapa menit sebelum pemaparannya berakhir, Nur Juli memberi analisa atas beberapa pandangan umum tadi, beberapa di antaranya adalah perjanjian damai yang belum adil dan bermartabat.

”Kekerasan komunal terjadi karena selama ini rakyat Aceh hidup dalam budaya kekerasan. Perdamaian Helsinki didasarkan pada keadilan dan martabat. Meski perdamaian telah dicapai, tidak demikian dengan keadilan dan martabat.”kata Nur Juli yang beberapa saat kemudian menyambut kedatangan Fajran Zain. Lalu melanjutkan pemaparannya.

Melihat pamahaman radikal dalam agama yang memicu kekerasan, Nur Juli memandangnya sebagai implikasi dari pembelajaran agama yang sifatnya monolitik dan miskin alternatif.

”Unsur-unsur kemunculan Born Again Muslim mengajarkan Islam secara doktrinal tanpa disertai pemikiran.”katanya.

 Reintegrasi pasca konflik, satu kalimat yang acap kali terdengar dalam diskusi ini. Kehadiran Rukaiyah mewakili keluarga yang pernah kehilangan orang-orang terdekatnya saat konflik terjadi, meyakinkan saya bahwa persoalan re-integrasi masih jauh dari harapan. Dan benar, seperti apa yang ia sampaikan,

”Upaya kami (kagundah) memperjuangkan keadilan sudah sampai kemana-mana, tapi belum mendapat jalan keluar.”kata Rukaiyah mengawali pemaparannya.

Selanjutnya, ia mengisahkan bagaimana perjuangannya sampai ke DPRA.

”saat itu, kami langsung menjumpai Hasbi Abdullah dengan menyerahkan data korban orang hilang yang mencapai ribuan pada beliau. Tapi hingga saat ini entah kemana data itu dibawa.”ungkapnya.

Dugaan itu bukan tanpa alasan. Saat bersama teman-teman Kontras Jakarta, Rukaiyah sempat menjumpai Komnas HAM pusat. Saat itu, Ifdhal Qasim sebagai ketua Komnas HAM mengatakan bahwa data yang pernah ia terima itu telah dilimpahkan ke DPR-RI.

”tapi semua itu tak pernah ada tindak lanjut yang berarti.”kata Rukaiyah kecewa.

Namun tak sepenuhnya harapan itu sirna, karena terangkatnya Otto Ishak, akademisi yang sangat konsen mengenai kasus pelanggaran HAM Aceh, seolah memeberi angin segar bagi perjuangannya.

“Semoga pak Otto mampu menyelesaikan ini.”harapnya.

Terkait dengan masalah ini, Nur Juli berpendapat. Menurutnya, kekerasan atas motif politik yang kerap terjadi di Aceh disebabkan oleh Reintegrasi sosial yang tak kunjung selesai. Kesulitan muncul bukan karena dana, tapi perspektif pemerintah pusat yang cenderung menganggap Reintegrasi adalah memberikan sejumlah uang.

“Dalam MOU jelas, seperti soal pemberian lahan tanah. Namun pemerintah lepas tangan karena para pemimpin GAM telah setuju klausul itu ditukar dengan pemberian sejumlah uang.”ungkapnya.

Nur Juli berpendapat, beberapa pemimpin GAM tidak konsekuen memperjuangkan klausul-klausul MOU tentang Reintegrasi. Alasannya jelas, mereka lebih memilih keuntungan jangka pendek ketimbang kesejahteraan yang menyeluruh. Uang tidak akan pernah cukup mengganti apa yang telah menjadi penderitaan rakyat Aceh di masa konflik..

Di kesempatan terakhir, giliran Fajran Zain mengungkapkan beberapa peristiwa penting di Aceh dalam setahun terakhir. Pilkada masuk dalam sorotan. Dimana kubu mayoritas berhasil memenangkannya dengan suara yang signifikan, lebih dari 50% suara masyarakat Aceh. Namun konsolidasi yang solid bukan tanpa resiko, mengingat fenomena memunculkan kepentingan sekelompok sebagai akibat dari konsolidasi yang terlalu solid.

“Hal itu dapat kita lihat dari polemik yang baru-baru ini terjadi. Perdebatan soal Wali Nangroe, Qanun lambang dan bendera, semua itu hanya berkisar di sekeliling partai PA saja, sedangkan ruang akses di luar itu tidak ada.”kata Fajran.

Peristiwa lain dikemukakannya, seperti kasus Peulimbang.

“Saya pernah melihat video-nya. Disitu suasana sangat kalut. Orang-orang berteriak ‘bakar..bakar..’ melihat kaki pelaku yang masih bergerak, warga pun memotong lehernya hingga tewas. Saya heran, kemana pihak aparat pada saat kejadian.”ungkapnya. Senada dengan apa yang disampaikan oleh salah seorang penanya beberapa saat kemudian, yang menyesalkan dengan upaya MPU yang hanya memberi fatwa sesat. Tapi tidak memberi penyelesaian yang pasti.

Tak lama bercerita, Fajran menggarisbawahi ciri otoriter pada personal masyarakat Aceh terhadap dirinya sendiri. Ia melihat ada beberapa indikator, salah satunya adalah agresifitas yang tak mendasar.

“Ketidakmampuan masyarakat untuk masuk ke wilayah pemerintah, mengalihkan perhatian mereka ke soft Target, seperti kasus syariat islam, khalwat, dan sebagainya.”jelasnya.

Menyoroti persoalan Reintegrasi, Fajran mengungkapkan bahwa para kombatan sebenarnya ada yang keberatan dengan isi MOU tentang pengungkapan kebenaran secara total. Inilah kenyataan dimana konsolidasi yang dipolitisir untuk kepentingan beberapa orang saja.

Selain agresifitas, fenomena politik lokal hari ini diramaikan oleh upaya beberapa kelompok yang men-submit diri kepada pihak yang menjadi penguasa. Hal  itu dilakukan untuk mengamankan posisinya. Meski Fajran enggan mencontohkan siapa kelompok-kelompok itu, terlihat sebagian besar pengunjung tersenyum menerka.

Tiba dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta menyatakan sikap yang beragam. Khomaini misalnya, mahasiswa ini mendesak pemerintah untuk lebih jeli merespon kasus kekerasan bermotif agama. Kasus Peulimbang menjadi contoh nyata bagaimana pihak yang seharusnya mengontrol masyarakat namun tidak mampu berbuat apa-apa saat peristiwa berdarah itu terjadi.

Beralih pada persoalan Reintegrasi, seorang yang lagi-lagi tidak saya ingat namanya menanyakan kapada para pemateri mengenai solusi konkret mewujudkan KKR/Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang beberapa tahun terakhir tak kunjung menemukan titik terang. Menanggapi hal ini, Nur Juli angkat bicara. Menurutnya upaya mendirikan KKR di ranah lokal bukan hal yang mudah. BRA (Badan Reintegrasi Aceh) yang pernah dipimpinnya mengaku kesulitan, untuk mendirikan KKR harus secara Nasional. Karena pelaku kekerasan di Aceh adalah persoalan negara dan tak dapat dipungkiri juga melibatkan pejabat negara.

Seperti yang pernah diberitakan oleh Tempo pada Desember 2006 silam, Mahkamah Konstitusi memilih untuk membatalkan undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang KKR,  dengan alasan semua ketentuan dalam UU tersebut tidak mungkin dilaksanakan dan tidak memiliki konsistensi hukum. Meski diakui oleh Jusuf Hadi selaku Direktur Diseminasi Ditjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM beberapa tahun lalu yang menyatakan rancangan UU KKR telah matang (Tempo 2010).

Tipis harapan di ranah Pusat, perjuangan untuk mengusung KKR terus digelorakan. Tepat pada hari HAM sedunia yang jatuh pada 10 Desember lalu, puluhan aktivis di  Aceh menggelar aksi mendesak pemerintah daerah untuk membentuk Rancangan Qanun mengenai KKR. Mereka menegaskan pentingnya menyelesaikan kejahatan konflik di masa lalu yang telah memakan korban belasan ribu lebih.

Saya tak buru-buru mengerut wajah pesimis, meski agaknya diskusi dan berwacana bukan agenda baru untuk mencari solusi atas permasalahan yang membelit Aceh beberapa dekade ini. Fajran sepertinya sepakat bahwa selama pemerintah Aceh masih setengah hati menanggapi upaya pengungkapan kebenaran konflik, KKR hanya akan menjadi angan-angan para aktivis HAM. Namun, perjuangan tak mengenal lelah, karena KKR akan terus diusung oleh banyak pihak.

Sedikit berbeda, Nur Juli mengakhiri diskusi di sore yang dingin itu dengan sebuah harapan. Masa lalu adalah ingatan untuk menata masa depan.

”Hari ini, Aceh adalah Aceh yang kita lihat, suka atau tidak suka, walau berhak menghujat, tapi, terimalah realita.”katanya menutup diskusi. 2013 adalah kesempatan untuk menata Aceh lebih baik dari yang sebelumnya.

 Hingga pukul 6 lewat, senja terus menggabak dalam serba sibuk nya rutinitas. Malam nanti jadi momen terpenting. Entah zikir atau hura-hura, masyarakat mayoritas yang menentukan. Toh, seruan menjaga ketertiban di malam tahun baru telah ada sejak beberapa tahun lalu. Dan muda mudi yang ‘nakal’ tetap saja pintar mencuri waktu. Seperti kata Fajran Zain, Masalah ketertiban untuk orang awam semacam itu lah yang hanya mampu dilakukan pemerintah. Soal korupsi, kekerasan bermotif politik, dan segala tetek bengek yang menyentakkan singgasananya penguasa, hanya bisa jadi tontonan.

Kadang kocak jika ingat ‘Aceh Pungo’-nya Taufik Al-Mubarak, kalau Aceh dulunya dikenal dengan kegilaannya karena berani melawan penjajah. maka sekarang, kegilaan itu lahir saat aturan di tanah sendiri pun tak dihiraukan. Jangan cerita tentang minimnya dana serapan dari APBD yang jumlahnya berlimpah ruah, karena manusia yang tidak lagi pintar menghabiskan uang  adalah kegilaan yang lebih kocak menurutnya. Terlepas dari segala candaan yang kurang penting, Aceh adalah apa yang dijalankan masyarakat kini. Sejarah, seperti apa yang pernah dituliskan oleh seorang intelektual Aceh Prof Amirul Hadi, tak membawa sebuah bangsa pada perubahan ke arah yang lebih baik, jika hanya menjadi ingatan sosial.(Fuadi M)