Feature | Meugang

Sumberpost.com | Banda Aceh – “SUDAH dua hari ini pasar di sini sangat ramai dan agak sesak,” ujar Usman salah seorang pedagang di Pasar Lamnyong, Banda Aceh.meugang

Hari itu, Rabu, 12 September 2007. Udara begitu panas. Tetapi ternyata banyak orang tak terpengaruh pada cuaca. Mereka tetap nekad keluar rumah dan tak sedikit yang menuju pasar.

Kios atau lapak Usman didatangi lumayan banyak pembeli. Pasar Lamnyong, tempat Usman berdagang, memang strategis. Letaknya sangat dekat dengan jalan raya sehingga gampang terlihat. Lagipula, jauh-dekat sebuah pasar kadang tak jadi soal, selama orang masih memerlukan memasak dan makan, maka pasar tetap dibutuhkan. Sepanjang hukum jual beli masih dipakai, maka pasar tak akan kehabisan peminat.

Tak jauh dari lapak Usman yang sangat sibuk ini ada lapak Muhammad Ali, lelaki 64 tahun yang terlihat lesu. Tubuhnya kurus dan ringkih. Matanya nanar menatap barang dagangannya, ikan laut dan udang, yang diserbu dan dihinggapi puluhan lalat. Sekali-kali tangannya mengibas-ngibas lalat-lalat tersebut.

“Dari kemarin belum ada yang laku,” ujarnya dengan suara parau.

Apa yang terjadi di pasar Lamnyong dua dan satu hari menjelang Ramadhan juga terjadi di pasar-pasar yang lain di Banda Aceh.

Meugang adalah alasan yang membuat keadaan pasar seperti itu. Dan selanjutnya kata meugang dalam tulisan ini tak akan saya tulis dalam huruf miring lagi, karena bagi orang Aceh, meugang bukan kata asing dan bukan pula tradisi asing.

Meugang dilakukan untuk menyambut Idul Fitri maupun Idul Adha yang berlangsung sebelum Ramadhan atau hari raya berlangsung. Dua hari sebelum Ramadhan disebut meugang kantor. Saat meugang kantor diadakan pembagian daging di berbagai kantor, termasuk di kantor gubernur. Sedangkan satu hari sebelum puasa adalah meugang umum.

“Dari kemarin sampai hari ini sudah banyak daging yang terjual dari lima ekor lembu yang saya sembelih,” kata Usman sambil membersihkan buntut sapi untuk mengambil dagingnya.

“Biasanya saya jualan di dekat simpang Surabaya,” lanjut Usman, tersenyum. Baju putihnya tampak lusuh dan penuh darah. Ia menyebut satu lokasi lain di Banda Aceh.

Sekitar 20 menit berkendaraan dari pasar Lamnyong ada pasar Peunayong. Keadaannya sama: sesak dan macet. Pembeli lebih banyak memenuhi pasar daging dan ayam potong dibandingkan tempat penjualan ikan. Tukang parkir terus meniupkan peluitnya yang nyaring untuk memarkir kendaraan. Arena parkir yang sempit dan pengunjung yang ramai membuat pasar itu tampak semerawut. Sebuah pasar daging musiman juga digelar di sini.

Bau anyir darah mulai tercium dan membuat perut saya sedikit mual. Di pasar dadakan ini ada 47 lapak penjualan daging. Harga daging per kilogram Rp 100 ribu. Meskipun lebih mahal dari biasanya, tapi lapak-lapak ini tetap laris diserbu pembeli. Tidak hanya orang dewasa yang terlihat di pasar ini, tapi juga anak-anak. Ada yang asyik menawarkan daun-daun rempah untuk masak daging seperti daun salam, temurui, ataupun serai, ada yang menemani orang tuanya berjualan daging, ada yang mau berpanas-panasan menjual bumbu daging, bahkan ada yang jauh-jauh datang dari luar Banda Aceh hanya untuk sekedar mengemis. Banyak yang berjualan di sini sebenarnya bukan penjual daging, mereka hanya ada waktu meugang saja seperti halnya Fahmi.

“Lon pegawai, kon hana mungken publo sie tip-tip uroe (saya pegawai, jadi tidak mungkinkan jualan daging setiap hari),” ujar Fahmi sambil terus membelah kepala lembu dengan kapak di tangannya.

Sejak kemarin Fahmi sudah menjual daging dari enam ekor lembu.

“Macam-macam permintaan pembeli, pokoknya dari kemarin udah ramai,” kata Fahmi, yang setelah ini langsung pulang ke rumah.

Nah, hal yang sering jadi keluhan penjual tentulah pajak berjualan. Para pendagang mengatakan bahwa mereka diambil pajak mulai dari hari meugang kantor kemarin. Ada pajak meja yang Rp 100 ribu per lapak, dan pajak potong sebesar Rp 60 ribu, yang dipungut satu hari sekali. Pajak potong diambil karena para pedagang musiman ini menyembelih sendiri hewannya.

“Karena bukan di rumah potong ya ada pajaknya, di rumah potong Keudah juga segitu pajaknya,” ujar Fahmi.

Selain itu juga ada ibu-ibu yang berjualan bumbu masakan dan berjualan lemang. Seperti seorang ibu yang memakai baju kurung dan berjilbab putih asal Sigli, Pidie (berjarak 2,5 jam dari Banda Aceh) ini. Lemang adalah penganan yang terbuat dari beras ketan atau ubi yang dibakar dalam bumbung bambu. Hari ini jualan si ibu tinggal lemang dari beras ketan, lemang ubi sudah habis.

“Jadi kalau mau makan dengan kuah daging juga enak kok,“ ujar ibu itu sambil tersenyum, memberi petunjuk cara menyantap lemang yang asyik.

Selain para pedagang, pengemis mondar-mandir mengharap belas kasih di pasar ini. Biasanya mereka membawa kantong untuk meminta sedikit daging kepada penjual dan uang kepada pembeli, seperti laki-laki setengah baya berbaju koko putih yang tangan kirinya puntung itu. Dia bersama seorang anak yang membantunya memegang bungkus plastik berisi daging hasil mengemis. Mereka berasal dari Sigli dan biasanya mengemis di Medan.

Matahari terus meninggi, hari makin panas, Jalanan tambah ramai. Selain di Peunayong, di pinggir sungai dekat simpang Surabaya juga ada penjual daging. Kalau hari biasa hanya ada dua atau tiga lapak digelar di situ, tapi di hari meugang menjadi banyak.

Jalan di depan tempat penjualan daging tersebut terlihat sangat sesak dan macet. Klakson kendaraan terus bersahut-sahutan. Saya memutuskan memarkir kendaraan di dekat jalan, setelah itu berjalan ke tengah keramaian pasar. Bau amis tercium semakin dekat.

Taufik salah seorang penjual berkata, “Banyak pedagang musiman yang berjualan selama meugang seperti halnya saya.“

Sesudah dihitung-hitung ada sekitar 52 lapak yang menjajakan daging lembu di kiri dan di kanan jalan tersebut. Memang lebih sedikit dari tahun kemarin yang berjumlah sekitar 65 lapak.

Suasana riuh. Masing-masing penjual meneriakkan dagangan mereka, juga berebut pembeli. Di tengah keramaian tersebut ada satu hal yang menarik. Di salah satu meja terlihat seorang penjual tengah beradu mulut dengan lelaki yang di seragamnya tertulis PAMONG PRAJA. Jumlah mereka yang berseragam lima orang, terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan. Untuk mengetahui apa yang terjadi, beberapa orang memutuskan mendekat. Setelah orang-orang berbaju dinas itu pergi, saya mencoba menanyai penjual tersebut yang belakangan kami ketahui bernama Mursalin.

“Mereka datang meminta pajak. Saya agak terkejut karena mereka kemarin juga telah datang mengambil pajak sebanyak 40 ribu rupiah. Saya penjual tetap di sini bukan musiman seperti yang lain. Dulu meja saya di seberang sana, belum lama diminta pindah atau disita, makanya saya pindah ke sini,“ katanya, sambil menunjuk ke seberang jalan tempat ia berjualan dulu.

Setelah lama berbincang-bincang, seorang ibu yang berpakaian lusuh datang meminta sepotong daging kepadanya. Dengan agak kesal Mursalin berkata dalam bahasa Aceh, ”Droe neuh yang phoen lake sie habaroe, kepeulom nelake uroenyoe (anda yang pertama meminta daging kemarin, untuk apa meminta lagi hari ini).”

Tapi tampaknya ibu itu tidak peduli. Ia terus meminta sampai Mursalin memberinya sepotong daging. Kemudian ibu itu pergi ke meja yang lain dengan tujuan sama: meminta sepotong daging. Tak lama kemudian datang lagi seorang ibu dengan anaknya yang juga meminta daging.

Setelah memberikan sepotong daging pada perempuan itu, Mursalin berkata kepada saya, “Sudah dari kemarin mereka datang meminta daging dari meja ke meja. Ada yang datang sendiri, ada juga yang membawa anak.“

Karena penasaran saya kemudian mengikuti orang-orang berseragam tersebut.

”Sebelum bertanya baca dulu bukunya,” ujar salah seorang, dengan ketus.

Setelah lelaki yang ketus itu pergi, saya menghampiri anggota rombongannya.

“Kami dari dinas peternakan bekerjasama dengan dinas penertiban kota meminta pajak karena mereka tidak melakukan pemotongan di tempat pemotongan lembu resmi di Keudah. Kalau potong di situ mereka harus membayar Rp 35 ribu per lembu pada saat meugang dan dihitung per kilo pada hari biasa,” ujar lelaki ini, ramah..

“Kalau sudah memotong di sana tidak dikutip pajak lagi, tapi cukup memperlihatkan kartu. Kalau yang satu lagi itu dinas pasar, mereka mengambil pajak tempat,” ujarnya, mengakhiri pembicaraan.

Selain Mursalin, pedagang musiman juga berjualan di tempat ini. Di antara mereka itu terdapat petani, pegawai, kuli bangunan bahkan guru sekolah.

Di pasar daging simpang Surabaya harga daging beragam, dari Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu per kilogram.

“Keupu ta publo mahai-mahai that sayang masyarakat ( untuk apa kita jual mahal-mahal sekali sayang masyarakat),” ujar salah seorang penjual yang sehari-harinya berprofesi sebagai guru.

“Tapi dek ini belum terlalu ramai, nanti sore akan lebih ramai lagi karena dikira kalau sudah sore udah murah, padahal semakin sore semakin mahal dagingnya,” ujar pak guru yang berjualan dengan anaknya ini.

Beberapa pedagang yang mengeluhkan mahalnya pajak meja, padahal biasanya mereka cukup membayar Rp 2000 saja per meja, kalau meugang menjadi Rp 50 ribu per meja.

Sebelum beranjak pergi, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu yang tengah memilih dan menawar daging.

“Saya sedang mempersiapkan uang belanja khusus untuk meugang, ya… setiap meugang harus beli daging. Kalau tidak, puasanya tidak terasa,” jawabnya, sambil berlalu.

Di Keutapang tempat penjualan daging juga ramai, tapi tidak menimbulkan kemacetan. Pasarnya terpisah dari pasar tradisional. Para penjual membuat kelompok sendiri di samping-samping jalan. Dari sini saya mengarahkan kereta (sepeda motor) saya ke pasar Lambaro Kafe, yang berjarak setengah jam perjalanan dari pusat kota Banda Aceh.

“Keadaannya masih ramai, tapi tidak seramai tadi pagi,” ujar Nurmala. “Tadi pagi berjalan saja sangat susah, karena berdesakan, dan banyak kereta yang diparkir di dalam pasar, biasalah banyak pencuri yang berkeliaran,” ujarnya sambil tersenyum simpul. Tapi di pasar ini tidak ada penjualan daging, melainkan ayam potong dan bumbu.

Nurmala hari itu hendak membeli bumbu untuk masak daging khas Aceh, seperti rendang Aceh, sie reboh, masak meurah, masak puteh, dan lainnya. Tidak hanya daging lembu yang akan dimasak oleh ibu empat anak ini, tapi juga daging kerbau.

Apa istimewanya meugang sehingga membuatnya sangat semarak? Munandar pemuda Aceh yang kini kuliah di Malang mengatakan, “Banyak hal yang membuat saya rindu meugang di kampong halaman, lebih bisa berkumpul bersama keluarga dan makan bersama. Lagi pula kalau di Malang itu meugang tidak ada sama sekali, jadi tidak dianggap.” Itulah katanya kepada saya dalam sebuah pembicaraan telepon kami.

Hal senada juga diutarakan Nuril Annisa yang tengah melanjutkan pendidikannya ke Melbourne, Australia.“Kangen sih kangen, tapi kan tidak mungkin untuk pulang, padahal kangen banget biar bisa meugang di Aceh.” Ia mengatakan hal ini kepada saya melalui pesan pendek dari telepon selulernya.

Karena istimewanya meugang ada beberapa orang tua yang sengaja menjemput anaknya yang menuntut ilmu di Banda Aceh hanya untuk pulang kampung dan merayakan meugang bersama. Kalau ada yang tidak pulang kampung waktu meugang pasti para orang tua akan menelepon anaknya dan bersedih karena anaknya tak pulang. Dan biasanya di saat meugang ada beberapa keluarga yang melarang anaknya keluar di pagi dan siang hari. Tak hanya itu, ada tradisi yang mengharuskan pihak lelaki dari pasangan yang baru menikah untuk membawa daging meugang ke rumah mertuanya. Meugang tak sekadar perayaan, melainkan tata cara untuk menguatkan ikatan antar anggota keluarga yang terpisah-pisah oleh modernisasi dan urbanisasi.

Pada pukul 15.15 pasar Lamnyong telah sepi. Para penjual ikan menggantikan dagangannya dengan diri mereka sendiri, tidur di meja ikan. Tetapi tidak begitu halnya dengan suasana di simpang Gallon, sekitar 500 meter dari pasar Lamnyong. Di sana para penjual daging dadakan masih tetap menjajakan dagangannya.

Muksin penjual lembu yang saya jumpai mengatakan bahwa ia telah menjual daging selama dua hari di sini. Ia tak keberatan soal pungutan pajak berjualan.

“Pajak kan kewajiban, jadi harus dibayar. Sudah dua hari ini mereka datang untuk mengutipnya,” jawabnya, sambil tersenyum.

Setelah istirahat sejenak, saya kembali menuju pasar Peunayong, walaupun waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Keadaannya justru lebih ramai dan macet dibandingkan tadi pagi. Tukang parkir sibuk, klakson terus bersahut-sahutan, dan pasar pun menjadi lautan manusia. Sekarang pasar ikan kembali dipenuhi pengunjungnya.

Kebiasaan ini telah berlangsung sejak saya masih anak-anak, bahkan sebelum saya lahir. Jadi kapan tradisi meugang ini dimulai?

“Dari saya kecil meugang itu sudah ada kalau udah meugang berarti ada hari yang istimewa yang akan datang,“ ujar Abbasyiah, nenek yang telah berumur 75 tahun. Ia tinggal dekat rumah saya.

Mencari buku tentang sejarah meugang membawa saya ke daerah Ketapang. Di sana ada perpustakaan yang menyimpan buku dan naskah Aceh peninggalan mantan gubernur Aceh Ali Hasymi. Said Murtadha Ahmad, kepala perpustakaan Ali Hasymi, ikut membantu saya mencari buku tersebut.

“Tentang meugang ada tapi sedikit dan tidak ada tentang bagaimana sejarahnya,“ ujar Said Murtadha.

“Pada setiap meugang, para santri dan murid akan mengantar masakan daging untuk guru dan tengku tempat mereka mengaji,“ lanjutnya.

Said menganjurkan saya menemui Amir Hamzah, seorang tokoh masyarakat Aceh dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

“Pergilah, ke tempat Pak Amir, setahu saya dia tahu tentang sejarah meugang,“ saran Said kepada saya.

AMIR Hamzah berusia lebih dari 50 tahun, bertubuh agak gemuk. Ia tinggal di desa Lambhuk, Banda Aceh. Ketika saya datang, Amir tengah duduk santai di kursi panjang bambu di muka rumahnya. Ia mengenakan setelan baju koko putih dan sarung.

“Sejarah meugang di Aceh erat kaitannya dengan masuknya Islam ke sini, jadi dalam hadist Nabi disuruh menyambut Ramadhan dengan meriah, begitu juga dengan dua hari raya,“ ujarnya, sambil sesekali menghisap rokok.

Menurut Amir, masyarakat Aceh dulunya adalah petani dan miskin. Daging lembu diyakini sebagai makanan mewah dan bergizi paling baik waktu itu, sehingga perayaan tersebut menggunakan daging lembu.

“Engkot paya ka kayem gupajoh engkot laot lagenyan shit, jadi geuanggap murah, maka yang mewah keuh gubri yaitu sie (Ikan payau/sawah sudah sering dimakan, begitu juga dengan ikan laut, jadi dianggap murah, maka yang mewahlah diberikan/dipersembahkan yaitu daging),“ ujarnya, tersenyum.

Daging itu dibagikan kepada fakir-miskin, sedang ulee balang atau kaum bangsawan Aceh membagikan kepada pembantu-pembantunya. Tradisi ini sudah ada jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-16 masehi.

“Dulu tradisi ini bernama makmeugang bukan meugang seperti kita ketahui sekarang. Gang itu artinya pasar, jadi daging itu digantung di bambu di dalam gang. Kalau hari biasa jarang ada yang pergi ke situ tapi satu hari menjelang hari Ramadhan, Idul Fitri, dan Idhul Adha banyak ada orang sehingga dikatakan makmu that gang nyan (makmur sekali gang itu). Jadilah nama makmugang,“ terang Amir.

Lelaki ini terus berbicara dan dengan antusias, sedang saya terus menyimak penjelasannya.

“Kebersamaan dan kesetaraan ada pada hari itu orang miskin dan orang kaya mendapat bagian yang sama. Dagingnya pun dibagi sedikit-sedikit macamnya mulai dari hati sedikit, tulang sedikit, daging sedikit dan lainnya bagian tubuh dari lembu itu tidak seperti sekarang yang membeli kiloan. Meugang kilo hana le kebersamaan lagi barojeh (Di meugang kiloan tidak ada lagi kebersamaan seperti yang dulu),“ tegasnya.

Akhirnya saya menemui Muhammad Nur Daud, orang yang saya anggap mengerti asal-mula meugang. Ia telah menjadi anggota tim pemotong lembu di desa Tungkob, Aceh Besar, sejak tahun 1960-an.

“Nah, uniknya saat Belanda ada di Kuta Raja, tradisi meugang tetap ada, pada hari itu ada kebijakan dari Belanda meliburkan kerja dan menyerahkan hadiah berupa daging kepada masyarakat. Orang Belanda menghargai adat dan budaya yang tumbuh dan ada di Aceh,“ ujar Daud kepada saya.

Di masa kerajaan Aceh Darussalam, meugang di gampong (kampung) dilaksanakan dengan cara ripee, yaitu satu kampung membuat musyawarah di meunasah untuk menentukan berapa uang yang akan dikumpulkan oleh setiap kepala keluarga untuk membeli lembu. Uang inilah yang disebut ripee. Pembagian daging dilakukan dengan cara menumpuknya dan niatan bahwa semua bagian lembu bisa dirasakan semua orang. Mereka yang punya peran istimewa seperti penjagal, akan dapat leher, sedang tokoh adat memperoleh kepala lembu.

Saat Sultan Iskandar Muda berkuasa, orang kaya menyumbangkan uangnya untuk membeli lembu dan orang miskin memperoleh daging lembu secara cuma-cuma.

“Dengan ketetapan 2/5 untuk orang miskin dan 3/5 kepada orang yang menumpuk,“ kata Daud, sambil menyeruput kopinya pagi itu.

Menurut Daud, di masa itu ukuran berat daging dinamai katau. Satu katau setara dengan enam ons daging.

Istilah meugang kantor baru muncul di masa Indonesia merdeka. Ketika kantor-kantor pemerintahan mulai dibuka, juga kantor urusan dagang dan sebagainya, tepatnya ketika masa perkebunan berganti masa industri dan jasa. Daging meugang kantor tidak ditumpuk tapi ditimbang per kilogram. Namun, di kampung-kampung masih menggunakan cara menumpuk itu.

“Walaupun membeli lembu dilakukan secara gotong-royong. Tapi untuk orang memotong dan membersihkan daging biasanya terdiri dari tujuh sampai sepuluh orang. akan diberikan lima atau enam tumpuk daging dari satu ekor lembu,“ kisah Daud.

Tak sembarang lembu bisa disembelih untuk meugang. Semua lembu akan diperiksa dan yang terbaiklah yang akan dipotong. Daging lembu yang sudah dimasak dapat disimpan berhari-hari atau berbulan-bulan, seperti sie reuboh (daging rebus) atau daging yang dimasak dengan cuka. Daging itu kemudian disimpan dalam sandeng, keranjang yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Sandeng digantung di atas tungku di rumah-rumah Aceh. Saat meugang sudah lewat, orang pun masih bisa makan daging meugang.

Satu lagi kebiasaan orang Aceh setelah makan daging meugang adalah pajoh ranup atau makan sirih. Tujuannya untuk menghilangkan bau mulut dan mempermudah proses pencernaan makanan dalam perut. Tapi anak-anak muda Aceh tak lagi taat pada tradisi ini. Sekarang pajoh ranup hanya dilakukan oleh orang yang sudah tua saja, angkatan kakek dan nenek kami..***

*Khiththati. Tulisan ini pernah dimuat di Aceh Feature. Foto : Antara