Amnesty: Jangan Ada Intervensi Penyelidikan Pro-Justicia Kasus Pelanggaran HAM di Aceh

sumberpost.com – Keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membentuk sebuah penyelidikan pro-justicia terhadap lima kasus pelanggaran HAM serius di Aceh adalah langkah yang baik menuju penyelesaian impunitas atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi selama masa konflik. Komnas HAM harus melakukan penyelidikannya secara cepat, efektif, dan transparan. 

HAMAktivis Amnesty International untuk Indonesia dan Timor Leste, Josef Roy Benedict mengungkapkan, segala kasus yang diputuskan untuk dibawa ke Kejaksaan Agung harus diselidiki secara lengkap tanpa intervensi politik. Ketika ada cukup bukti-bukti, mereka yang diduga melakukan kejahatan-kejahatan harus diadili secara adil tanpa ada hukuman mati.

Pada Mei-Juni 2013, sebuah tim dari Komnas HAM melakukan sebuah investigasi terhadap pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Tim tersebut, yang mengumumkan temuan awalnya kepada publik pada 1 Agustus, melaporkan bahwa “pelanggaran HAM yang berat” dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia selama masa konflik di Aceh. Kesimpulan mereka didasari pada sebuah investigasi terhadap lima kasus pelanggaran HAM di Aceh.

Termasuk penyiksaan yang terjadi antara 1997 dan 1998 di Rumoh Geudong, sebuah pos taktis dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Kabupaten Pidie; peristiwa Simpang KKA pada Mei 1999 ketika militer membuka tembakan terhadap ratusan pengunjuk rasa di Kabupaten Aceh Utara; pembantaian Bumi Flora 2001 di Aceh Timur, yang mana menimbulkan korban jiwa paling sediki 31 orang; sebuah kuburan massal ditemukan di Kabupaten Bener Meriah pada 2002; dan pembunuhan Jamboe Keupok 2003 di Kabupaten Aceh Selatan.

Pada 4 Oktober 2013, Komnas HAM memutuskan pada sidang paripurnanya membentuk sebuah tim ad hoc untuk melakukan sebuah penyelidikan pro-justicia sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Inisiatif yang ditujukan bagi penyelesaian kejahatan-kejahatan masa lalu di Aceh ini merupakan yang pertama sejak waktu yang lama, namun hanyalah satu dari sekian banyak inisiatif.

“Sudah ada serangkaian tim pencari fakta – oleh pemerintah, parlemen, dan Komnas HAM – terhadap konflik Aceh sejak 1998. Namun mengecewakannya, sangat sedikit yang berujung pada persidangan terhadap mereka yang bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan masa lalu, dan tidak ada satu pun laporan akhir dari penyelidikan resmi tersebut dibuat public,”kata Josef dalam keterangan pers yang diterima KBR68H, Senin (14/10).

Menurut dia, penyelidikan baru ini menjadi sangat penting bahwa harapan-harapan para korban dan keluarga mereka tidak sirna sekali lagi. Selain itu, kesempatan baru ini untuk menghadirkan keadilan dan reparasi terpenuhi.

“Komnas HAM perlu memastikan bahwa para korban, keluarga dan perwakilan mereka, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan yang relevan lainnya dapat berkontribusi dalam penyelidikan dan bebas dari ancaman dan gangguan. Lebih jauh, mereka harus menjamin bahwa para korban dan keluarganya secara rutin diberi tahu tentang kemajuan dari penyelidikan tersebut. Yang terakhir, laporan final pro-justicia, dengan nama-nama para korban, saksi-saksi, dan kemungkinan pelaku dimasukan kembali, harus tersedia secara publik dan didistribusikan secara luas untuk berkontribusi dalam menghadirkan kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu,”tegasnya.[portalkbr.com]