Cerpen | Siapa Yang Aku Salahkan

Karya  April, cerpenis di UKPM Sumberpost, selamat membaca…

Tuhan? Dalam malam sunyi aku terbangun di  sepertiga  malamMu… Kulabuhkan semua Doa pinta yang terkunci dalam Qalbu. Bismillah ucapku lirih.

“Mengerti aku dalam hidup tak mungkin tanpa ujian untuk tingkat kemukminanku. Tuhan jangan kau renggut rasa malu dalam nadiku, jangan kau ambil rasa tunduk dalam darahku. Aku ingin terus bersyukur akan nikmatMu, bukan mengotori rezekimu dengan haramnya kekufuranku. Ya Rabb, kuikhlaskan butiran mutiara dalam kelopak mataku menuruni indahnya daguku. Dalam benakku seolah memberontak. Apa ini nasib dari Mu untukku? Mengapa sulit rasanya untukku melangkah pasti seperti hambaMu yang lain yang lebih beruntung”. Isak tangisku tak lagi tertahankan, Kutahan nafasku agar tak mengeluarkan suara tenggorokan yang aku takuti akan membangunkan Ibu dikamarnya. Namun pedih ini terasa terus mengganggu limpaku. Ingin sekali rasanya aku berteriak.

                                                            ***

“ Ga, bangun nak sudah shubuh”  sapa ibu sambil menarik selimutku dengan lembut.

“ Riga tidak tidur bu, baru saja ingin membangunkan ibu dikamar. Riga hanya membaca juz amma ini sambil berbaring” jelasku sambil membereskan tempat tidur

“ oh, ya sudah ayo kita berjamaah. Tolong bangunkan Arif” kata ibu sambil tersenyum meninggalkan kamar yang patut disebut gudang bagi orang-orang kaya

“ bangun Rif, ibu sudah siap untuk shalat” kataku sambil mengelis rambut adik laki-laki ku yang baru saja kujemput dari pesantrennya karna kata Ibu dia baru terjatuh di kamar mandi saat akan berwudhu.

“ iya bang. Tapi punggung arif masih sakit” rengeknya memeluk lenganku

“ kan bisa duduk shalat kalau memang tak memungkinkan untuk berdiri. Ingat, shalat itu wajib bagaimanapun keadaan kita”

“ baiklah kalau begitu. Tunggu bang” lirih Arif seolah punggungnya akan terlipat dua

                                                            ***

“ Allahu akbar”

“ Sami allahuliman hamidah”

“ Allahu akbar”

“Assalamualaikum Warahmatullah”

            Dalam 2 rakaat ini kami memohon ampunan dan Do’a pada Rabbi. Aku dan arif menyalami Ibu. Mencium tangannya yang lembut mengelus rambut kami

“ Setelah ini kita sarapan sama-sama” kata ibu seraya melipat mukenahnya yang sudah lusuh

“ iya bu” jawab kami serentak

            Kami bergegas mendekati meja makan. Meja yang ditempa dengan tangan Ayah. Taplak meja kuning yang diukir oleh ibu ini yang menghiasinya mungkin sebenarnya sudah dapat  dipensiunkan. Sudah lebih dari 7 tahun kami pakai, dan ibu terus merawatnya bak peliharaan.

“ Ayo nak di minum tehnya” kata ibu

“ bu, kapan kita makan ikan?” Tanya Arif. Pertanyaannya seakan memukul batu bara kepunggungku

“ Rif, ini kan dibuat dari ikan” kataku sambil tertawa yang dipaksa

“ ikan apaan bang”

“ iyalah, ini dibuat dari ikan teri pilihan hingga semua bisa dibuat enak olehnya hehe”

“ ah abang, inikan Cuma sambel terasi” rengeknya

“ liat tu ibu, banyak makannya. Ayo kita tanding. Siapa yang paling cepat selesai” kataku menghiburnya

“ sudah, makan dulu apa yang ada. Nanti setelah Ayah pulang kita akan beli ikan” ujar Ibu tersenyum pilu

                                                            ***

“Bu, Ariga akan pergi dulu kerumah paman. Mungkin dia ada kerjaan buat Riga selama libur ini” aku bermaksud pamitan pada ibu yang sedari tadi menyulam pakaian hangat untuk Arif\

“ sudahla Rif, kerjaan apa yang akan diberikan Pamanmu untukmu? Lagipula dia juga masih sibuk menggarap sawahnya” jawab ibu sambil menatapku

Huh.. aku menghela nafas. “ bagaimana kalau seandainya dia punya lahan kosong? Kan lumayan bu, untuk sebulan ini” aku mencoba menghiburnya

“ ibu tidak tahu pasti ada atau tidak”

“ justru karna itu maka Riga kesana dulu ya Bu”. Aku mendekati ibu dan duduk disampingnya. Rasanya nyaman dekat dengan beliau, namun aku tahu sekarang hatinya tengah bercampur-aduk

“ kamu belajar aja kesana. Ulangi pelajaramu, Ibu tak mau kamu mengeluh tentang pelajaranmu lagi”

“ malam kan bisa bu”

“ malam waktumu untuk istirahat nak”

“ tapi bu, Riga ingin membantu ibu”

“tanggung jawabmu kini belajar dan mencoba untuk sukses dengan pendidikanmu nak. Bukan bekerja banting tulang”

“ Riga tidak pernah banting tulang untuk kita. Hanya saja Riga ingin membantu meringankan sedikit beban ini bu”

“ itu sudah menjadi tanggung jawab Ibu dan Ayah”

“ tapi…

“dengar Ga. Ayahmu tak lama lagi akan pulang dari tempat bibi mu. Beliau akan membawa uang yang kita butuhkan”

“ tapi tidak mungkin semua ada bu”

“ walau tidak semua, pasti ada setengahnya. Toh kita masih punya jahe yang belum dipanen”

“ harganya kan nurun” rintihku

“ setidaknya cukup untuk uang semestermu” kata ibu sambil meninggalkan ku diteras ini.

Aku masih terdiam mengingat-ingat harapan Ibu ingin menjadikanku Jaksa, mengingat kebanggaan ayah saat aku menghapal pasal-pasal didepannya. Mengingat Arif yang masih membutuhkan biaya untuk  sekolahnya. Aku tahu ibu sudah menunggak 4 bulan, aku tahu Arif belum berobat secara total hingga punggungnya sampai seminggu ini belum sembuh.

                                                            ***

“ halo Ayah” . aku mengangkat teleponku, dan mendengar Ayah menyapa dari seberang sana. Pria yang sudah 6 bulan ini tak pernah kulihat. Setelah aku pulang libur, ternyata Ayah sudah seminggu ditempat Bibi

“ bagaiman kabar kalian dirumah?”

“Alhamdulillah baik Yah, ayah bagaimana?”

“sehat, bibi dan pamanmu juga sehat”

“ Rido dan Bengi? Dimana mereka”

“oh, sepupumu tengah sekolah. Oh iya mana Ibu” Tanya Ayah

“ ibu lagi keluar Yah, katanya mau bantu Makcik sebelah menjual dagangannya”

“ oh.. ya sudah Ayah tidak bisa lama-lama berbicara. Sampaikan salam Ayah padanya dan Arif. Ayah merindukan rumah. Assalamualaikum” tut..tut..tut Ayah mematikan handpone tanpa mendengarku membalas salamnya.

Hatiku sakit sekali mendengarnya. Bukan karna sakit dendam atau semacamnya. Sakit mengetahui kenyataan bahwa kami hanya keluarga miskin yang cukup sederhana. Hingga tuk sesuap nasipun untuk saat ini ayahku harus bekerja pada Bibi. Belum lagi penunggakan Arif, bagaimana dengan uang kuliahku?

                                                            ***

Ibu pulang membawa sayuran dan ikan seperti yang Arif minta. Aku menghampiri Arif  diruang kecil tak jauh dari dapur. Ruang ini kami sebut ruang tamu. Ku lihat Arif yang sibuk dengan hafalan surah al-kahfi. “ tugas dari ustad bang” katanya minggu lalu

“ Bu, bagaimana kalau kita bawa Arif urut saja tempat Nek Piah?” kataku membuka percakapan malam ini dengan ibu yang mengatur sayur di meja dapur

“ gak mau ah bang, gak enak” kata Arif menyahut

“ biar cepat sembuh” kataku

“ gak ..

“ Arif udah dibawa kemarin kesana, kata Nek Piah kita liat dua hari ini aja dulu, kalau tiada perubahan baru kita bawa lagi” kata ibu menjelaskan

“ oh, tapi Riga kok gak tahu ya Ibu bawa arif kesana” tanyaku. Aku mengerutkan alis

“ Abang sih sibuk dengan laptop dan buku-buku abang” ledek Arif

“Bu, tadi Ayah menelepon”

“ apa kata ayahmu” . ibu mendekati aku dan Arif sambil menatap penuh Tanya

“ Ayah hanya titip salam bu”

“kapan dia pulang”

“entahlah, belum sempat Tanya telfonnya udah diputus”

“ oh, mungkin Ayahmu enggak ada pulsa”

“ iya bu”

                                                            ***

Aku memaksakan kehendakku untuk bekerja di sawah paman. Walau Ibu tidak setuju tapi aku tahu kami sedang membutuhkan uang. Hari ini dimulai dengan mencangkul tanah untuk ditanami padi. Tanah ini sebelumnya belum pernah digunakan, masih sangat kering. Jadi sangat susah mengerjakannya.

“ Kamu yakin Ga? Bisa”

“ yakin paman”

“tapi kan kamu belum pernah pengalaman, kalau sempat Ayahmu tahu bagaimana”

“sudahlah paman. Paman cukup ajarkan saja caranya, Riga bisa kok”

“ tapi kamu kan tidak pantas memegang cangkul ini. Kamu pantas memegang pulpen di depan computer dan dokumen penting Ga. Ingat, itukan yang Ayahmu selalu bilang” kata paman ragu

“ iya paman, tapi aku anak seorang petani, jadi harus pandai juga bertani” jawabku tersenyum

Matahari begitu terik, keringat terus mengaliri badanku yang tak kubalut dengan sehelai bengangpun. Dan kepalaku serasa akan pecah karna hanya kubalut dengan baju lengan panjangku. Beginikan rasanya menjadi petani? Dikala taka da lagi yang dipanen maka taka da lagi keperluan yang bisa dilengkapi. Ketika panen maka uangnya habis untuk hutang. Ketika lahan sudah penuh, harus mencari lahan baru yang susah untuk ditempa menjadi tanah subur. Dua minggu ini aku bekerja dengan paman. Rasanya aku mulai bosan, namun jauh dalam benakku terukir cita-citaku. Aku ingin mengadili dulu hidupku dengan keluargaku. Aku ingin memberi mereka makanan enak dari hasil keringatku

                                                            ***

“ Ariga pulang bu”. Aku setengah berteriak sambil menaruh alat-alat kerja di belakang rumah kami yang sederhana dan masuk kedalam rumah. Kudapati ibu duduk terdiam di meja makan

“ Ga, tadi Ustad dari pesantren Arif menelpon” kata Ibu dengan suara serak basah

“ memangnya ada apa bu”

“ Arif tadi pingsan Ga. Kata Ustad, Arif jatuh dari tangga”

“lagi?” tanyaku setengah panik mendengar kabar Arif yang minggu lalu beru kuantarkan  pulang ke pondok pesantrennya

“ iya. Akhirnya mereka memutuskan untuk membawanya kerumah sakit. Karna wajah Arif terus pucat” kata ibu sambil terisak

“ kalau begitu ayo kita kesana”

“ ayahmu malam ini pulang. Ibu tak memberitahunya dan menunggu kau pulang”

“ kalau begitu kasih tahu ayah bu” desakku

“ jangan Ga, beliau lagi dalam perjalannan, jangan ganggu konsentrasinya.”

“ bagaimana kalua Ariga aja kerumah sakit”

“ ini sudah hampir magrib, tidak ada bus lagi kesana”

“ kita pinjam kereta paman saja”

“ kita telah banyak merepotkannya Ga.”

“ terus sekarang bagaimana bu? Apa kita terus disini duduk kebingungan? Menunggu kabar baik dari Dokter atau kabar buruk dari Ustad?” aku bertanya dengan nada keras seperti menyalahkan ibu

“ kita tunggu Ayahmu Ga. Kita akan pergi bersama” jawab ibu sambil meangis

“ maaf bu aku membentakmu” aku meminta maaf dan menangis dalam peluknya

                                                            ***

Aku, Ayah dan Ibu menelusuri gedung yang besar ini, jam sudah menunjukkan pukul 23:00, kami bertiga  nekat menaiki motor supra milik Ayah untuk dapat sampai kesini. Kulihat ada 4 orang remaja yang duduk di depan ruang khusus pria. Segera kutahu iti santri yang berjaga-jaga

“ Bagaima keadaannya” Tanya ayah pada seorang Dokter

“ harus segera di operasi pak. Arif mengalami gagal ginjal, jika tidak segera dioperasi maka berakibat harus cuci darah bahkan fatal” kata dokter menjelaskan

“ astaghfirullah,”

“Dok, bagaiman dengan ginjalnya? Apakah harus ada pendonor?” tanyaku mendekati Dokter yang berawakan tinggi itu

“ untungnya ginjal yang satu lagi masih berfungsi dengan baik, sehingga dalam hal ini tidak dibutuhkan pendonor.”

“ alhamduliillah” bathinku

Ayah dan Ibu meninggalkan aku segera ke ruang admistrasi agar dapat mengetahui rincian biayanya. Aku tahu tidak mungkin murah atau sebanding dengan harga satu karung beras. Aku pulang kerumah segera menempuh 2 jam perjalanan untuk mengambil barang-barangku yang bisa dijual

                                                            ***

Aku melihat sosok Ayahku yang tak lagi terlihat gagah dan tidak lagi setampan fotonya, seakan matanya melirik-lirik seperti mencari sesuatu dan berjalan kesana-kemari sekan bingung tanpa arah.

“ Ayah” sapaku

“ Masya Allah, Ariga kamu dari mana saja” Tanya Ayah lembut

“ Aku dari rumah Yah”

“ ngapain? Lama sekali kalu kembali?”

“ ada urusan Yah, bagaiman dengan Arif”

“ Ayah tak begitu yakin, biayanya masih kurang”

“ berapa yang Ayah punya?” kataku

“ hanya cukup untuk membayar uang semester mu” katanya

“ sudah, jangan pikirkan SPP dulu, itu tidak penting” kataku meyakinkannya

“ bagaimana mungkin itu tidak penting nak? Itu adalah uang untuk kau kuliah dan mengambil gelar untuk meningkatkan derajat keluarga ini” jelas Ayah sambil menepuk pundakku

“ tidak Ayah. Riga bosan kuliah, hanya memberatkan saja. Riga capek belajar” kataku menundukkan kepala

“ kamu gak boleh bilang gitu, Ibu akan kecewa mendengarnya”

“ Aku lebih kecewa jika mendengar Arif tak selamat Yah”

“ Arif pasti akan selamat, ayah akan mencari pinjaman dan menjual kereta kita”

“ tidak yah, kereta itu untuk mengantar ayah mencari sesuap nasi ke kebun, jika Ayah jual sama saja kita tak lagi mempunyai penghasilan. Karna Riga tak mau melihat ayah berjalan 4 jam untuk sampai ke kebun”

“ dengar baik-baik nak, Ayah pergi kerumah bibi membantunya bekerja membersihkan kebun, menanam cabainya, memupuk dan mencangkul lahannya karna untuk mendapat uang SPP mu” kata ayah berlinang air mata

“ Riga tahu Yah, bukan berarti harus menunggu uang yang lain untuk Arif”

“ ayah akan usahakan lagi. Tapi 2 hari lagi akan tutup pembayaran SPP atau daftar ulang di kampusmu, bergegaslah esok tuk pulang nak, kamu sudah cukup lama menunggak, Ayah takut seperti tahun lalu sulit untukmu menyakinkan pihak akademik karna keterlambatan pembayaranmu” ketus ayah panjang lebar

“ Riga gak akan pulang lagi yah, ini” kataku sambil menaruh uang sebesar 5.000.000.00.- (Lima Juta Rupiah) pada telapak tangannya

“ Masya Allah, dari mana kamu membawa uang sebanyak ini” tanyak ayah dengan rasa kaget

“ Riga jual laptop, handpone, buku-buku bekas dan uang 600.000 selama 2 minggu bekerja dengan paman”

Ayah menagis melihat uang ditangannya dan dengan menambahkan uang 1.500.000 yang seharusnya untu pembayaran SPP ku kami membayar uang operasi Arif agar dia lekas diselamatkan.

                                                            ***

Pada awal semester Aku pernah megusulkan Beasiswa Miskin (Bidikmisi) ke bidang kemahasiswaan. Namun mereka bilang mereka telah memilih anak yang lebih berhak mendapatkannya. Dan mereka telah melacak anak-anak yang berhak tersebut karna bekerja sama dengan Badan statistik.

“dengan mengetik nama kalian maka akan terlihat biodata orang tua dan penghasilan serta ekonomi orangtua, maka tidak akan ada kebohongan, dari 5000 mahasiswa baru. kami akan dengan sangat mudah dan cermat mendapatkannya. Jadi bagi kalian yang berhak nanti akan diumumkan. Dan orang itu telah kami pilih” kata pihak kampus.

10 kali dalam sekali tarikan nafas aku berpikir, apakah pemerintah tahu segalanya?, 9 kali dalam hentakan bathin aku mengutuk, apakah aku bernasib jelek?. 8 kali dalam kedipan mata aku melihat dan bertanya, apa diriku tak sebaik mereka? . 7 hari aku berputar memikirkan jalan keluar. 6 jam aku ingin berteriak, 5 menit saja ingin terdiam dalam renungan. Namun sayang, dalam hitungan 4 detik kebelakang aku bukan lagi seorang mahasiswa.

Inikah sebuah takdir atau cobaan? Kusimpan duka dalam relung hati yang selalu berdo’a