Belajar dari Gugatan Pelanggaran HAM ExxonMobil

Sumberpost.com | Banda Aceh – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry dan The Aceh Institute gelar bedah riset bertajuk Perkembangan Gugatan Korban Pelanggaran HAM terhadap ExxonMobil di Aula Rektorat UIN Ar-Raniry pada Jumat (25/11/2016).

Hadir sebagai narasumber, peneliti Nurkholis Hidayat, akademisi FISIP UIN Ar-Raniry Fajran Zain, dan Dosen Fakultas Hukum Unsyiah Saifuddin Bantasyam. Selain itu, juga hadir Ketua Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Afridal Darmi dan Kabag Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Aceh, Sulaiman.

Nurkholis Hidayat mengatakan, perusahaan ExxonMobil secara langsung terlibat dalam pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer RI di Aceh. Hal itu berlanjut pada pengajuan gugatan oleh 11 warga Aceh terhadap perusahaan itu ke Pengadilan Federal Amerika Serikat pada 2001 silam.

“Penggugat merasa yakin ExxonMobil membayar TNI untuk melindungi fasilitas pengeboran gas alam dan pipa di wilayah aktivitasnya, dan TNI diklaim terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan saat itu,” jelasnya.

Konsekuensi dari kemenangan atas gugatan tersebut, sambung Nurkholis, ExxonMobil harus membayar sejumlah ganti rugi kepada para penggugat di bawah Alien Tort Claims Act (ATCA). ATCA adalah sebuah mekanisme yang memberikan hak pada warga asing untuk mengajukan gugatan ganti rugi terhadap warga negara atau badan hukum Amerika yang melanggar hukum negara maupun hukum internasional.

Menurut Nurkholis, kemenangan gugatan terhadap ExxonMobil dapat menjadi inspirasi bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM dengan kasus yang sama. “Keberhasilan ini merupakan peluang bagi gerakan litigasi HAM,” ujarnya.

Sementara itu, Saifuddin Bantasyam mengajak seluruh elemen masyarakat untuk segera ikut mengambil peran dalam memperjuangkan keadilan terhadap para korban pelanggaran HAM di Aceh. “Tegakkan keadilan sebelum Anda menjadi korban dari ketidakadilan itu,” pungkasnya.

Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi menyampaikan, keterlambatan pembentukan KKR, yakni sembilan tahun sejak penandatanganan MOU Helsinki, menghadirkan tantangan bagi keberhasilan keadilan transisi.

Karena itu, pihaknya harus melakukan sosialisasi pada generasi muda dan masyarakat Aceh, termasuk melibatkan mereka dalam proses pengungkapan kebenaran.

“tidak cukup hanya mengandalkan ingatan, sebab kita mudah lupa, tapi dengan meneliti dan menulis menjadikan sejarah itu abadi, sehingga generasi berikutnya dapat mengambil pelajaran,” tambahnya.

Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Prof Nasir Budiman mengatakan, bedah riset termasuk kegiatan yang baru di FISIP UIN Ar-Raniry. Ia berharap kegiatan itu bisa terus berlanjut. Dosen FISIP UIN Ar-Raniry, Fajran Zain menyampaikan, fakultas tersebut berencana memasukkan KKR (Transitional Justice) dalam mata kuliah.

“Ini menunjukkan bahwa FISIP memiliki perhatian yang serius mengenai persoalan kekinian termasuk KKR,” kata Fajran. [Rilis]