Penyelesaian Sengketa Antar Timses dalam Pilkada

Sumberpost.com | Banda Aceh – Talkshow Pilkada bekerjasama dengan The Aceh Institute, Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh, Panwasli dan KIP Aceh mengadakan diskusi dengan topik Penyelesaian Sengketa Antar Timses dalam Pilkada di Stasiun RRI Banda Aceh, Studio Kanal PRO 199,7 FM, Kamis (29/12/2016), dengan menghadirkan narasumber, Roby Syahputra dari KIP Aceh, Wanti Maulidar dari Panwasli Kota Banda Aceh dan Mawardi Ismail sebagai akademisi.

Pilkada Aceh 2017 merupakan Pilkada ke-3 pasca Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, setelah pada periode sebelumnya dilaksanakan pada 2006 dan 2012. Merujuk kepada Pemilukada 2012 ditemukan bahwa proses pelaksanaan Pilkada di Aceh dipenuhi dengan kekerasan dan sengketa antar para pendukung kandidat dan besarnya wewenang Panwaslih dalam menganulir atau memperbolehkan kandidat untuk maju atau didiskualifikasi.

Potensi konflik antar calon dan timses yang dirugikan sangat mungkin terkristalisasi dalam bentuk bentrok antar masa pendukung, saling intimidasi dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Ditambah dengan banyaknya mantan kombatan yang muncul sebagai kandidat kepala daerah, sangat besar kemungkinan terjadi gesekan di level basis masa pendukung akibat adanya provokasi tertentu dalam Pilkada.

“Sengketa antar timses adalah sesuatu yang biasa terjadi dan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Pilkada. Kerena pilkada tanpa sengketa adalah sesuatu yang mustahil. Sekarang yang menjadi tuntutan adalah bagaimana upaya kita secara bersama-sama menyelesaikan sengketa itu.,” kata Mawardi Ismail

Wanti Maulidar dari Panwasli mengatakan, siapapun peserta atau pasangan calon berhak untuk mengambil ranah sengketa dalam hal menuntut haknya atas sebuah ketetapan dari pihak penyelenggara Pilkada. Tetapi, bila sudah sampai kepada tindakan saling menjatuhkan dan merusak atribut antar timses, yang demikian merupakan bagian dari pelanggaran atau tindak pidana.

“Ada tiga bentuk pelanggaran selama proses Pilkada, diantaranya pelanggaran administrasi, pidana dan kode etik. Tindakan intimidasi dan saling merusak atribut, adalah bentuk pelanggaran pidana,” ungkap Wanti.

Roby Syahputra dari KIP Aceh mengatakan, untuk level provinsi sejauh ini belum ada terjadi sesuatu yang krusial. Namun, ada hal lain yang menjadi problema, yaitu turunnya jumlah pemilih tetap seperti di Aceh Tenggara yang mencapai 3.000 pemilih. Hal ini dipengaruhi kematian dan faktor lain yang dapat merubah jumlah pemilih itu sendiri. Tetapi hal ini sudah ditangani dan dirampungkan oleh KIP Aceh.

“Kalau ada tindakan yang bersifat pidana, segera laporkan pada KIP atau Panwasli. Dan harapannya memang, Pilkada kali ini mari sama-sama saling menjaga. Semangat itu yang mesti kita tularkan ke semuanya,”tutur Roby. [Rilis]