Yuk Kenali Pelaku dan Korban Perundungan

Kata bullying pasti sudah tak asing lagi di masyarakat karena ada banyak media massa yang membahas hal tersebut. Pastinya, sebagai manusia zoon politicon atau makhluk sosial, manusia tidak tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki kebutuhan, kemampuan, serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain, lalu membentuk kelompok, setiap orang pasti memiliki teman, setidaknya satu.

Bullying dalam bahasa Indonesia disebut perundungan. Perundungan biasa terjadi pada kalangan anak-anak maupun remaja, terutama di lingkungan sekolah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Scholte bersama temannya pada tahun 2008, perundungan menjadi masalah utama di sekolah dan memberikan banyak efek buruk pada anak-anak, dengan tingkat prevalensi antara negara Barat dan non barat lima sampai 26 persen.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung fakta ini dan mengatakan di Indonesia kasus perundungan menempati peringkat teratas pengaduan masyarakat, dimana terdapat 369 pengaduan kasus perundungan dari tahun 2011 sampai 2014.

Aceh juga tak lepas dari kasus perundungan. Berdasarkan pernyataan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), kasus perundungan meningkat dua kali lipat dari tahun 2013-2015, dari enam menjadi 12 kasus. Bahkan, pada tahun 2015, seorang anak perempuan yang bersekolah di salah satu SD di Aceh Besar meninggal dunia karena dibully (rundung) oleh teman-temannya.

Perundungan dalam istilah psikologi didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain yang memiliki kekuatan lebih rendah. Perilaku agresif ini dapat dilakukan secara langsung seperti memukul, mengganggu, atau memanggil dengan nama-nama yang buruk. Bisa juga dilakukan secara tidak langsung misalnya menyebarkan rumor. Korban perundungan juga bisa melakukan perundungan.

Korban perundungan umumnya memiliki kemampuan sosial yang buruk. Jika telah menjadi korban dalam waktu yang cukup lama dapat menimbulkan dampak negatif, seperti kesepian, cemas, depresi, dan tidak menutup kemungkinan akan memiliki masalah akademik. Korban perundungan biasanya menyimpan dan menginternalisasikan masalah kepada diri sendiri, sehingga cenderung akan menyalahkan diri sendiri atas hal buruk yang menimpanya.

Banyak faktor yang bisa dijadikan pelindung bagi korban, salah satunya adalah teman. Teman memiliki banyak makna untuk korban, misalnya saja bisa menjadi seseorang yang menginformasikan nilai-nilai baik yang ada didalam diri korban kepada orang lain, memiliki seseorang yang bisa membantunya mengeksplorasi skill baru, dan seseorang yang bisa membantunya ketika sedang dirundung.

Lodder dkk., dalam penelitiannya yang berjudul Bully Victimization: Selection and Influence Within Adolescent Friendship Network and Clique mencantumkan bahwa teman cenderung untuk memiliki beberapa kesamaan dalam perilaku. Ada dua hal yang kemungkinan menyebabkan hal ini, seleksi dan pengaruh. Sadar atau tidak sadar individu akan memilih individu lain yang memiliki kesamaan dengannya untuk dijadikan teman.

Berdasarkan dua hal di atas, besar kemungkinan korban perundungan akan memilih korban perundungan lain menjadi temannya. Pada penelitian yang sama dituliskan ada tiga alasan mengapa korban perundungan memilih teman yang juga korban.

Pertama, korban butuh untuk menjalin hubungan yang intim sama seperti orang lain. Kedua, korban perundungan sengaja memilih teman yang juga korban karena akan ada rasa untuk saling mengerti dan memberi dukungan, dan lebih mudah untuk meningkatkan rasa percaya. Ketiga, berteman dengan sesama korban akan meningkatkan keinginan yang lebih kuat untuk melawan pelaku.

Kendati demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertemanan sesama korban perundungan memiliki kualitas yang rendah dan sering terjadi konflik, yang menyebabkan pertemanan tidak akan bertahan lama. Lebih penting lagi, kedepannya pertemanan ini bisa mengembangkan kognitif yang maladaptif seperti self-blame. Memiliki teman sesama korban juga mengurangi kesempatan untuk belajar perilaku sosial yang sesuai, sebaliknya malah akan meningkatkan perilaku maladaptif.

Banyak hasil penelitian menemukan bahwa salah satu hal yang penting bagi perkembangan anak ialah teman. Salah satu penelitiannya adalah A Friend In Need: The Role of Friendship Quality as a Protective Factor in Peer Victimization and Bullying yang dilakukan oleh Bollmer dkk. Penelitian ini menyebutkan bahwa teman memiliki banyak fungsi, diantaranya memberi rasa hangat, kasih sayang, menjaga, dan intimasi. Kualitas pertemanan yang baik dapat membentuk hubungan pertemanan yang sehat.

Jika ditinjau dari segi pelaku, teman dapat menjadi faktor penguat untuk perilaku perundungan mereka, baik secara aktif (menertawakan korban perundungan) maupun secara pasif. Penelitian yang dilakukan Salmivalli tahun 2010, sebanyak 80 persen kelompok yang tidak terlibat dan hanya menyaksikan peristiwa perundungan, memberikan dukungan kepada pelaku.

Apa yang Pelaku Inginkan
Perilaku perundungan termotivasi oleh status sosial yang tinggi, kekuatan, dan keinginan untuk mencapai posisi yang dominan didalam kelompok. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salmivalli dkk. Pada tahun 2009, keinginan untuk memiliki status sosial yang tinggi banyak dilakukan laki-laki.

Remaja laki-laki berusia 14-16 tahun yang menjadi pelaku perundungan tidak hanya ingin menjadi dominan tetapi mereka percaya bahwa orang-orang di sekitar menganggapnya sebagai sosok yang paling dominan. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki perilaku agresif, termasuk pelaku perundungan, dianggap sebagai sosok yang keren, kuat, dan populer.

Berperilaku agresif atau setidaknya tidak berteman dengan korban perundungan menjadi trend baru untuk “fitting in” (menyesuaikan diri) kedalam suatu kelompok. Pelaku cenderung memiliki masalah perilaku.

Pelaku perundungan umumnya memiliki perilaku externalizing, yaitu cenderung berperilaku impulsif, berperilaku agresif kepada teman sebaya atau orangtua, sulit untuk mengontrol emosi, dan mudah terprovokasi.

Sama halnya seperti korban, pelaku juga akan cenderung memilih teman sesama pelaku. Dishion dan koleganya berpendapat bahwa kelompok teman sebaya belajar perilaku antisosial jika diberikan penguatan positif, seperti memberi dukungan, tidak dilarang, atau membenarkan perilakunya.

“I would rather be a litlle nobody, than to be an evil somebody.”
– Abraham Lincoln-

Tulisan dari Himmah Fadhilah Aminy, mahasiswa Psikologi Unsyiah. Penulis bisa dihubungi melalui himmahfadhilah95@gmail.com.

Ilustrasi: internet