Jejak ‘Sepeda Merah’ Seorang Akademisi

 

Sumberpost|Banda Aceh-Pagi itu basah sejuk, setelah hujan membasahi kota Banda Aceh semalaman. Semerbak harum aroma embun masih jelas tercium. Cahaya matahari bersinar dibalik riak-riak dedaunan pohon. Jalanan terlihat sepi, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang di sekitar Darussalam. Di persimpangan dekat gerbang belakang Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry terlihat seseorang dengan sepeda merahnya  dan sibuk memainkan gawainya.

Wajahnya sedikit berkeriput, badanya kurus, dan beberapa rambut putihnya tertutup oleh helm, namun semangat dan senyumnya pagi itu masih berusia muda. Adalah Masdar (47), seorang dosen Arsitektur di kedua kampus “jantong hate rakyat Aceh” dan juga aktif sebagai anggota Federalist NAD yaitu salah satu komunitas sepeda terbesar di Indonesia yang telah memiliki ribuan anggota di berbagai pelosok Indonesia. Meskipun usianya tidak muda lagi. Beliau tetap rajin  gowes berkeliling kota dengan sepeda merahnya jika hari libur.

Minggu, (11/11/2018), Sumberpost berkesempatan untuk mengikuti dan merekam perjalanannya selama hari itu.  Perjalanan kami dimulai dari Darussalam. Beliau mengajarkan teknik mendayung sepeda dengan benar pagi itu, setelah sebelumnya ia melihat dayungan yang salah. “Perlu teknik biar gak capek nanti,” jelasnya.

Sepeda merah itu menelusuri jalan panjang Darussalam menuju jembatan Lamnyong. Dayunganya mulai pelan, sejenak ia menikmati panorama Krueng (sungai) Aceh. Beliau juga sempat berhenti dan menikmati proses pembagunan SMK Penerbangan. “Saya suka berfoto kalau latarnya bagunan arsitektur,” ujarnya. Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Blang Padang, dan sempat singgah di area Car Free Day sejenak.

Beliau mengukapkan bahwa sepeda adalah kendaraanya kemana-mana sejak empat tahun terakhir ini. Seperti  ke kampus, ke pasar dan ngopi sama teman-teman. “Kalau pergi sendiri naik sepeda kemana-mana, tapi kalau sama keluarga biasanya naik mobil atau motor.

Apa yang saya  lakukan sebenarya adalah bentuk peduli lingkungan. Meskipun efeknya tidak  banyak. Padahal di kota Banda Aceh sangat bagus untuk bersepeda, karena tanahnya tidak banyak kontur. Saya juga tidak peduli dengan harga BBM naik, mau seribu, duaribu, itu tidak ada urusan dengan saya,” ceritanya.

Tampak beberapa orang tersenyum padanya saat sepeda merah itu tiba di Blang Padang. Pagi itu, hanya ia sendiri, teman-teman komunitas tidak datang. Namun, banyak yang mengenali beliau, rata-rata mereka tanda dengan sepeda merah yang khas itu. Ia juga mengatakan bahwa sepeda merah itu dulu adalah sepeda bekas, lalu ia menyulap sepeda itu menjadi sesuatu yang khas.

“Begitulah konsep ramah lingkungan, mendaur ulang yang lama,” jelasnya.

Beberapa menit kemudian, cerita miris diucapkan dari mulutnya. “Selama ini, saya juga pernah ditabrak sepeda motor saat hendak ke pasar waktu itu,” ungkapnya. Kejadian itu ia alami saat pengendara sepeda motor tersebut langsung menerobos, padahal ia sudah memberi kode tangan untuk belok.

Padahal, menurut UUD No 22 Tahun 2009 tentang tata tertib lalu lintas dijelaskan bahwa kendaraan lain harus mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.

“Susah juga, di Banda Aceh gak ada jalur sepeda. Dulu ada sih, tapi sekarang udah dihilangkan,” lanjutnya.

Jalur sepeda sempat ada pada saat Mawardi masih menjabat sebagai walikota Banda Aceh. Namun, pada saat masa jabatan setelahnya. Jalur sepeda itu dihilangkan. Saat ini, bekas jalur sepeda masih bisa kita lihat di Sp. Surabya, Leung Bata. Namun sayang, sepanjang jalur itu saat ini penuh dengan pedangang.

Sebagai dosen arsitektur, dengan sepeda merahnya beliau juga belajar. Menikmati dan meneliti bangunan ketempat yang ia singgahi. Dan juga mendokumentasikan lewat gawai atau kamera yang ia bawa. Setelah menikmati keramaian di Blang Padang, sepeda merah itu berjalan menelusuri jembatan underpass  Sp. Surabaya lalu turun menuju Leung Bata.

“Ini bekas jalur sepeda yang saya bilang tadi, teduhkan,” katanya. Memang, sepanjang jalur itu terlihat beberapa pedangang di sana.

Matahari sudah di atas kepala. Sepeda merah itu berjalan menuju Ule Kareng, menelusuri lorong-lorong kecil. Terlihat beliau memperhatikan beberapa bagunan, dayunganya perlahan pelan. Di atas sepeda beliau mengatakan bahwa banyak bagunan yang boros dalam pengunaan material, ia menyanyangkan hal itu.

Sebagai pria yang telah berusia lanjut ia berkeinginan untuk pulang ke kampung halaman mengunakan sepeda merahnya itu. “Mungkin dari Banda Aceh ke Padang, saya yakin bisa,” ujarnya. Selama ini ia telah menjelajah beberapa daerah di Aceh dengan sepeda Merahnya.

Kami tiba di Darussalam saat azan Suhur berkomandang. Terakhir ia berharap, lebih banyak orang bersepada atau naik angkutan umum kalau jaraknya dekat. []

Adli Dzil Ikram