Apel Mingguan Gedung Putih


Sumberpost.com | Baiklah kawan. Akan kuceritakan bagaimana aku mendengar kalimat yang mengejutkan di pertengahan tahun 1986. Saat aku berlari-lari kecil di trotoar, di bawah barisan pohon cemara.

Di sebelah kiriku ada sebuah tugu berdiri gagah-menjulang ke atas, di bagian bawahnya ada tingkatan yang semakin ke atas semakin mengecil. Dan di tingkatan terakhir ada tiang berdiri. Konon katanya, tugu itulah simbol kota S. Suara kalimat itu terdengar dari sebuah gedung di Kota S. Gedung itu bercat putih. Eksteriornya begaya arsitekrur Romawi Kuno.

Ada enam kolom di depan teras yang menyangga atap di atas teras. Pada kolom itu ada garis-garis kecil yang lurus sepanjang kolom. Dan garis-garis itu agak melengkung ke dalam. Aku sudah lupa nama gedung itu. Tapi aku ingat estetikanya. Bagaimana kalau kita sepakati saja gedung itu adalah Gedung Putih? Baiklah Gedung Putih.


Pada suatu pagi dan hari yang sibuk. Aku tidak sengaja mendengarnya. Tapi suara kalimat itu memang benar telah mengejutkanku, sehingga membuatku berhenti berlari. Dengan keadaan haus, aku duduk di atas trotoar dan mendengar kalimat-kalimat yang bergema dari gedung itu. Sedang berlangsung apel mingguan di sana.

***

“Sekarang ya sekarang!” lelaki tua itu dengan lantang mengucapkannya. “Saya tidak peduli dengan sejarah. Zaman kita berbeda dengan zaman dulu. Tidak perlu kalian membanggakan kali sejarah zaman dulu.”

Kalimat-kalimat itulah yang membuatku berhenti berlari-lari kecil, mengejar ruang kelas yang sudah terlambat beberapa menit. Aku yakin kalimat itu pula yang membuat tukang sapu di seberang jalan sana berhenti mengayunkan sapu lidinya.

Ia terheran-heran mendengar kalimat itu. bahkan tukang sapu itu tidak melanjutkan tugasnya itu setelah mendengar kalimat paling kontrovesial pagi itu. Tukang sapu itu menyandarkan tubuhnya di pohon felicium dan menyimak dengan seksama pidato lelaki tua di atas podium sana.


Aku menyebrang jalan lalu bergabung dengan si tukang sapu.

Aku telah memutuskan untuk meninggalkan kelas yang tadi kukejar. Tidak ada yang lebih penting selain mendengar pidato pagi seorang Profesor. Tidak ada kalimat-kalimat kontrovesial selanjutnya yang diucapkannya setelah kalimat di atas.


Si tukang sapu mengeleng-geleng kepalanya. Dan melihat ke arahku sembari mengeluarkan senyuman. Sepertinya, Ia juga terkejut mendengar kalimat itu. Ia bangkit dari sandarannya lalu melanjutkan tugasnya sebagai tukang sapu. Dan aku masih di sana, di bawah pohon filicium. Saat itu sebenarnya aku masih ragu-ragu, kembali mengejar kelas atau mendengar pidato lelaki tua itu. Barangkali kelas sudah berjalan setengahnya jika memang aku mendengar pidato itu sampai habis. Dan sudah pasti aku tidak diizinkan masuk lagi.

“Bapak! Jika bapak tidak peduli sejarah jadi untuk apa kami pengajar sejarah mengajar sejarah? Percuma kami berkoar-koar tiap hari menjelaskan sejarah pada pelajar. Pecat saja kami!” ujar seorang lelaki muda di barisan sebelah kanan.


“Iya memang saya mau memecat kalian segera.”

Sepertinya seru, pikirku. Aku tidak ragu lagi meninggalkan kelas. Segerombolan laki-laki dan perempuan di barisan kanan itu bersorak-sorak. Namun, barisan sebelah kiri tersenyum-senyum, sepertinya mereka mendukung pertanyaan lelaki tua di atas podium itu. Tukang sapu itu berhenti menyapu lagi. Ia merapat ke arahku. Si tukang sapu mengerucutkan keningnya dan tertawa seperti ada tanda tanya di keningnya. Aku sama sekali tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang serius.


Oh tidak! Semakin seru penampakan yang terjadi di hadapanku. Lelaki tua itu turun dari podium, dengan raut wajah emosi, Ia berjalan cepat ke arah segerombolan orang di barisan kanan. Lelaki tua itu saling tunjuk-menunjuk dengan lelaki muda tadi. Beberapa lelaki dari barisan kiri menghampiri barisan kanan. Entah apa yang mereka bicarakan di sana. Yang jelas aku mendengar beberapa makian dari satu sama lain. Si tukang sapu semakin bingung.


“Apa yang terjadi nak?”

“Tidak tau pak.”

Sejurus kemudian, terjadi adu jotos, sepak-menyepak, dan terus memaki-maki antara kedua barisan itu. Si tukang sapu membuang sapunya ke atas trotoar dan segera berlari ke arah halaman Gedung Putih. Ia berusaha melerai perkalihan itu. Kaum perempuan lari terbirit-birit ke teras gedung. Aku masih berdiri di atas trotoar dan terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.


Sirene mobil polisi mengaung-ngaung. Suara sirene itu semakin keras terdengar. Sebentar lagi polisi datang, pikirku. Jika benar polisi akan menuju kemari, aku tidak tau dari mana polisi mengetahui kejadian itu. Kendaraan yang berlalu-lalang di jalan depan halaman gedung putih itu menepi di samping trotoar. Dan menyaksikan kejadian di halaman itu.

Sebagian ada yang menuju ke area perkelahian itu. Aku masih terpana dengan kejadian itu. Seorang supir angkutan umum juga memakirkan angkutannya di samping trotoar, tepat di hadapanku. Seorang penumpang perempuan membukan jendela dan tersenyum padaku. Supir itu turun dari mobilnya. Aku menduga dia pasti akan menuju ke halaman.


“Apa yang terjadi dek?”
“Perkelahian.”
“Karena apa?”
“Tidak tau pak.”

Sirene mobil polisi semakin jelas terdengar. Dugaanku benar, polisi tiba saat si sopir sedang berbicara dengan orang lain di sebelahnya. Polisi yang tiba dengan dua mobil langsung berlari menuju halaman dan melerai perkelahian.


“Bawa saja dia pak! Dia yang memulai semua ini!” ujar lelaki tua yang mengakatakan kalimat-kalimat bodoh itu.

Barangkali karena lelaki tua itu seorang pemimpin di Gedung Putih itu. Barangkali karena dia seorang profesor satu-satunya di kota D. Barangkali karena dia lebih tua dari polisi-polisi yang datang ke tempat itu lebih muda darinya. Mungkin kerena alasan itu polisi membawa beberapa orang dari barisan kanan.

Bahkan salah seorang dari barisan kanan itu, ternyata guru yang mengasuh kelas yang tadi sedang kukejar. Aku tersenyum, tertawa, pasti temank-temanku di kelas telah menunggu lama. Kulihat jam, tampaknya waktu untuk kelas itu hampir berakhir. Aku memutuskan pulang, menyebrang jalan, dan berjalan di atas trotoar di bawah barisan pohon cemara. Kulihat ke arah mobil polisi. Orang-orang barisan kanan itu satu per satu sedang dinaikan ke mobil polisi.

***

Aku menghisap sebatang kretek dan duduk di halaman rumahku. Aku sedang memainkan jenggot putihku saat cucuku datang dari dalam rumah. Cucuku itu duduk di sampingku. Seperti biasa, pasti Ia akan menanyakan sesuatu.


“Kek, kata guruku, kakek adalah saksi hidup satu-satunya yang melihat kericuhan saat apel mingguan di Gedung Putih ya?”


Aku mengerucutkan kening, malu-malu, dan mengangguk-ngangguk.


“Betapa bodohnya kejadian itu ya kek,” lanjutnya.

Penulis, Adli Dzil Ikram, penikmat sastra.