Tolak Darurat Sipil, Kita Tidak Sedang Berperang

Sumberpost.com | Banda Aceh – Pemerintah Republik Indonesia berencana memberlakukan darurat sipil untuk mengatasi pandemi Covid-19. Kebijakan ini dibuat untuk pencegahan wabah yang semakin meluas . Presiden Joko Widodo menerapkan darurat sipil berlandaskan pada tiga dasar yakni Undang-Undang Nomor 24/2007 tentang Bencana, Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kesehatan, dan Perppu nomor 23/1959.

Katanya, darurat sipil dapat dilakukan jika keamanan dan ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga menimbulkan kekhawatiran tidak dapat diselesaikan oleh alat-alat perlengkapan.

Lalu melihat fenomena masyarakat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, apakah menerapkan darurat sipil itu perlu? Kilas balik kepada salah satu daerah yang pernah mengalami penerapan darurat yang kiranya hampir sama dengan apa yang sedang diwacanakan oleh pemerintah Indonesia saat ini yaitu Provinsi Aceh.

Ketakutan teramat dalam penulis bila diberlakukan darurat sipil maka akan ada perenggutan secara paksa Hak Asasi Manusia (HAM) yang tentunya akan berakibat konflik, baik vertikal maupun horizontal. Sebab masyarakat akan dibatasi beraktivitas, bahkan kemungkinan terbesar semua kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bisa saja dihentikan oleh petugas. Walaupun itu berdasarkan SOP, tetap saja akan menjadi pemicu konflik.

Kita tidak sedang berperang senjata, yang kebanyakan korban jiwa disebabkan oleh peluru dan benda tajam lainnya yang jelas-jelas terlihat secara nyata. Sedangkan ini kita berperang melawan virus yang notabenenya tidak terlihat, mengeceknya saja butuh alat. Jadi dapat dikonfirmasi bahwa darurat sipil yang diwacanakan oleh pemerintah tidak akan berefek apa-apa dalam melawan pandemi COVID-19, malah akan menciptakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kemudian, darurat sipil juga akan mengesampingkan hak otonomi beberapa daerah istimewa seperti Aceh, Papua, dan Yogyakarta. Tentu ini akan menjadi indikator pemicu konflik selain indikator di atas.

Sederhananya seperti ini, kita semua paham mengapa darurat militer tidak cocok diberlakukan dalam melawan Covid-19 di Indonesia. Seorang bapak yang bekerja sebagai buruh potong rumput, jika tidak memotong rumput maka tidak akan mendapatkan penghasilan. Bapak tersebut memiliki anak yang sedang menimba ilmu di perguruang tinggi. Anaknya disuruh kuliah online dan membutuhkan kuota yang dibeli dengan uang. Uang tersebut adalah jajan yang diberikan oleh ayahnya dari hasil upah memotong rumput. Jika aparat yang bertugas menghentikan sang bapak yang sedang memotong rumput dengan alasan darurat sipil, maka dari mana penghasilan sang bapak. Ini masih contoh skala kecil yang sederhana. Belum lagi membahas apa yang harus mereka makan dan bagaimana melengkapi kebutuhan sehari hari.

Apakah pemerintah bertanggung jawab setelah melakukan penerapan darurat sipil dengan membiayai kebutuhan masyarakat ekonomi menengah kebawah? Dengan alasan ini pula, tidak tepat pemberlakuan darurat sipil jika keadaan masyarakat selanjutnya akan seperti ini. Kemudian rakyat akan semakin terbeban karena selain pandemi Covid-19, juga pandemi aparat.

Kalaupun pemerintah bertanggung jawab dalam kondisi darurat sipil, berapa lama estimasi yang dibutuhkan untuk menyalurkan kepada masyarakat, bagaimana prosesnya? Sebab ada beberapa kepala daerah tetap tenang dengan imbauan bukan tindakan.

Berangkat dari hal tersebut, tentu ada jalan lain selain meberlakukan darurat sipil oleh Presiden. Misalnya dengan menutup semua akses masuk darat, laut dan udara serta mengecualikan kepada yang dianggap penting terutama kendaraan bermuatan sembako. Memindahkan alokasi dana pembangunan fisik kepada penanganan Covid-19, memeratakan dan mengecek secara berkala kesediaan alat dan obat-obatan dirumah sakit, kalua boleh adanya penambahan anggaran. Sebab dengan demikian kita akan mampu melawan Covid-19 ini secara bersama-sama dan menyeluruh, penulis yakin dengan begini rakyat akan lebih simpati ketimbang memberlakukan darurat sipil.

Untuk bapak presiden tidak semua rakyatmu memiliki penghasilan bulanan, kami rakyat kecil nelayan, tukang sayur keliling, buruh potong rumput, dan lain-lain. Jika kami tidak keluar rumah, maka dapur kami tidak akan mengepul. Mohon pertimbangkan kembali wacana ini. Aceh tidak berada pada kondisi baik hari ini. Angka kemiskinan tinggi, tingkat kesejahteraan rendah. Merumahkan kami sama saja membunuh kami tanpa menyentuh.

Jika darurat sipil benar berlaku di Indonesia dengan tidak adanya persiapan yang matang berupa alokasi dana sembako dan pendistribusian yang cepat maka bersiaplah, masyarakat mati merana kelaparan bukan karena corona. Bila ini terjadi nantinya, tangisan Presiden dan Petinggi Negara tidak berlaku lagi. Niat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia hanya ilusi, kesejahteraan umun tak diperduli, kita hidup bagaikan tidak memiliki negeri.

Fazil Rinaldi, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Editor: Saadatul Abadiah