Alasan Konyol Mahasiswa Memilih

Sumberpost.com | Banda Aceh – Pemilu yang dilangsungkan 5 tahun sekali, tinggal menghitung hari. Keberlangsungan kebijakan politik satu ini menjadi pembuktian Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi dengan melibatkan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpin negara.

Pemilu bukan hanya sekedar legal formal saja, namun juga harus diimplementasikan serta diwujudkan sebagai salah satu bentuk demokrasi yang nyata. Dimana tidak hanya pemerintah yang memiliki hak untuk mengontrol rakyat, tetapi rakyat juga berhak dalam mengontrol pemerintahnya demi menjaga keseimbangan terhadap kepentingan public.

Masyarakat tentunya memiliki peran penting untuk menentukan pemimpin bangsa yang kemudian turut menentukan nasib negara kita, oleh karena itu masyarakat diharapkan mampu menentukan pilihan dengan cerdas dan cermat.

Pemilih Gen Z dan Milenial

Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada juli 2023 untuk pemilu 2024 mencapai jumlah 204.807.222 pemilih. Mayoritas pemilih didominasi oleh kelompok Milenial dan Generasi Z (Gen Z) , yakni 56,45% dari total DPT KPU pemilu 2024. 33,60% diantaranya merupakan pemilih dari generasi milenial dan 22,85% pemilih dari gen Z. Seperti yang dilansir langsung melalui website https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/05/kpu-pemilih-pemilu-2024-didominasi-oleh-kelompok-gen-z-dan-milenial

Kuasa dari anak muda untuk menentukan pemimpin pada tahun 2024 meningkat hampir mencapai 2 kali lipat dibandingkan tahun 2014 yang berkisar 30%. Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z pada pemilu 2024 berjumlah lebih dari 113 juta pemilih.

Dengan begitu peran orang muda pada pemilu 2024 sangat besar. Dan juga tidak sedikit dari dua kelompok generasi ini yang masih tergolong sebagai pemilih pemula.

Tidak heran juga jika kesiapan mayoritas mereka sebagai pemilih patut diperhatikan, terlebih lagi sebagai pemilih pemula tentunya masih sangat awam dari ranah demokrasi dan termasuk orang-orang yang baru berbicara tentang politik.

Perlunya framework dari diri kita sendiri agar bisa lebih mengenal para calon yang akan dijadikan pemimpin Indonesia pada periode mendatang. Terlebih lagi pemilu tahun 2024 ini tidak hanya bersaing dalam kampanye antar calon presiden ataupun calon legislatif, namun juga dengan fakta serta hoaks yang memungkinkan terjadi, baik dalam media sosial ataupun diskusi-diskusi antar sesama.

Mahasiswa Harus Lebih Kritis


Pemilu menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran politik bagi generasi muda. Terutama mahasiswa yang dianggap sebagai sekolompok masyarakat terdidik. Maka sudah seharusnya mahasiswa menjadi pilar untuk memajukan negeri ini, salah satunya dengan turut mengambil peran untuk menentukan pemimpin negara Republik Indonesia.

Sebagai pilar masyarakat terdidik, mahasiswa harus menjadi contoh yang baik bagi seluruh kalangan masyarakat. Mahasiswa mestilah memiliki alasan yang kuat dengan penjelasan yang cerdas diantara berbagai alasan untuk memilih. Terlalu konyol jika seorang mahasiswa tidak dapat memberikan alasan yang cerdas dalam menentukan pilihan sosok pemimpin pada pemilu mendatang.

Namun sayangnya masih ada mahasiswa atau bahkan sarjana yang tidak mampu memaparkan alasan yang bijak untuk memilih. Bahkan ada pula yang memilih dengan alasan-alasan konyol, seperti “karena paling banyak muncul di FYP”, “karena di dukung oleh artis A”, “karena gemoy”, “karena suka kucing”, “karena kontennya viral”, “keliatan Alim” Dan berbagai alasan-alasan konyol lainnya.

Perlunya sikap kritis bagi mahasiswa sebagai pemimpin arahnya pemilu 2024. Tidak hanya memiliki hak asal memilih saja, tapi perlunya untuk mengetahui eksistensi dari pemilu itu sendiri.

Sebagai pemuda, kita memiliki peran untuk menggerakkan perubahan dan juga harus mampu mempertahankan idealisme demokratis diantara para pemilih ‘senior’ yang memungkinkan memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri.

Satu-satunya kepentingan mahasiswa adalah mempertahankan kebebasan dan keadilan di negeri ini. Dan kepentingan mahasiswa haruslah menyangkut dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan publik.

Sudah cukup perubahan demokrasi yang didasari kepentingan ekonomi politik pemerintah. Saatnya demokrasi Indonesia mengalami revitalisasi reformasi kembali. Dominasi peran Gen Z diranah digital, seharusnya mampu mengontrol pergerakan politik, karena perubahan harus tetap etis dalam berpolitik.

Upaya Bijak Memilih

Agar mampu menentukan pilihan yang tepat, perlunya subtansi yang jelas agar tidak tergiring dari informasi serta kampanye yang tidak bertanggung jawab.

Diera sekarang perlu kita sadari bahwa kita digiring berdasarkan opini, gimmick, maupun hoaks. Berdasarkan riset dari Centre for Stategic and International Studies (CSIS) menjelaskan, sekitar 51% dari anak muda masih tidak konsisten. Terlebih lagi dengan sistem memilih mereka yang berdasarkan hoaks dan opini dengan begitu mereka akan semakin enggan untuk melihat fakta dan objektivitas yang ada.

Realita yang terjadi saat ini, kita hidup di era post truth (kebohongan dapat menyamar sebagai kebenaran) dimana media sosial bisa menjadi ancaman sebagai media Pemilu.

Memperoleh informasi mengenai ketiga pasangan calon presiden ataupun calon legislatif bisa dilakukan dengan memperoleh informasi dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya.

Media massa menjadi Solusi untuk mencegah penerimaan informasi hoaks dibandingkan mempercayai konten media sosial terutama statement-statement tidak bertanggungjawab pada kolom komentar.

Tentunya di masa politik sangat memungkinkan adanya buzzer yang tidak mudah dikontrol penyebaran informasi tidak bertanggungjawab demi membela pihak yang membayarnya.

Media massa sendiri juga mungkin saja melakukan framing dalam pemberitaannya. Namun yang pasti, media massa tetap wajib melakukan filter terhadap berita bohong, hal ini sudah menjadi ketentuan etik dalam jurnalisme.

Hal ini ditegaskan oleh Dewan Pers dalam Seruan Dewan Pers mengenai Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi: “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, sadis, dan cabul”.

Maka, upaya kita sebagai pemilih yang bijak, perlu mempelajari dan menerima fakta yang disampaikan oleh media, yang kemudian dipertimbangkan secara objektif dan harus meninggalkan egoisme.

Langkah cermat lainnya dapat dilakukan dengan framework dalam menentukan pilihan, bagaimana cara kita memilih dengan tepat dan secara objektif, bukan hanya karena seru-seruan dan ikut-ikutan. Langkah awal yang harus kita pertimbangkan adalah mengetahui visi dan misinya.

Memilih berdasarkan visi dan misi yaitu dengan cara buka, pelajari dan pahami visi dan misi dari masing-masing calon presiden, tidak hanya melihat dari covernya, tetapi pahami bagaimana langkah mereka untuk memajukan Indonesia dan apa fokusnya.

Selanjutnya telusuri rekam jejaknya. Reputasi seseorang akan dengan mudah dipelajari melalui rekam jejaknya, karena semua dampak dan hasil yang sudah mereka lalukukan dapat kita ulas kembali melalui rekam jejak mereka.

Di sini juga kita bisa menganalisa apa saja janji mereka selama kampanye dan sesuai tidakkah dengan realita yang ada. Terakhir pilihlah presisden yang bisa mengapresiasi dan memikirkan masa depan anak muda, bukan hanya untuk dijadikan topik kemenengan saja.

Terlepas dari framework, kembali lagi pada diri kita masing-masing, kalau misalnya kita masih tidak bisa berpikir untuk memfilter informasi, pastinya fakta tidak akan mampu mengubah opini public dibandingkan dengan emosional yang mampu membenarkan kebohongan. []

Nurul Hidayah & Uly Rahmati