Mengkhawatirkan, Pengelolaan Hutan Aceh

Dalam dua dasawarsa terakhir, kawasan hutan alam di Pulau Sumatera telah berkurang hampir 50 persen.

Junaidi/Fotokita.net
Junaidi/Fotokita.net

Sisa-sisa hutan yang masih tersisa di Aceh, pembukaan areal perkebunan dan pertambangan telah membuat hutan Aceh terus menyusut dari tahun ke tahun, antara tahun 1980 hingga 2008, luas hutan Aceh telah berkurang hingga 914.422 hektar dari total luas 5.675.850 hektar.

“Hutan alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terutama hutan dataran rendahnya, merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati di Pulau Sumatra dan oleh karena itu perlu langkah bersama seluruh elemen untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan hutan — di Aceh dan Sumatra pada umumnya,” ujar CEO WWF-Indonesia, Efransjah.

Ia juga menekankan bahwa tanpa adanya pengelolaan kehutanan yang transparan dan akuntabel, dikhawatirkan hutan Aceh akan bernasib sama dengan hutan-hutan lain di Sumatra. Dalam dua dasawarsa terakhir, kawasan hutan alam di Pulau Sumatera telah berkurang hampir 50 persen.

Penegakan hukum yang maksimal, didukung undang-undang kehutanan, undang-undang anti pencucian uang dan pemberantasan korupsi perlu didorong untuk menyelamatkan kawasan hutan Aceh.

Dibahas dalam sebuah diskusi publik dengan tema “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” yang diadakan konsorsium SIAP II. Acara ini bekerja sama dengan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, di Banda Aceh (4/7), dan menegaskan hutan di wilayah ini merupakan satu-satunya habitat bagi empat satwa kunci Sumatra: harimau, badak, orangutan, dan gajah.

Dalam diskusi yang dihadiri berbagai elemen masyarakat sipil dan pemerintah itu ditegaskan, mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik, benar, dan “bersih” menjadi tuntutan, demi menjaga hutan berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak dikorbankan untuk kepentingan sesaat. Maraknya praktik-praktik korupsi dan pencucian uang di sektor kehutanan yang mulai merambah ke Aceh telah menuai kekhawatiran dari berbagai pihak.

Menurut Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Dadang Trisasongko, pola korupsi terjadi di semua lini manajemen kehutanan. “Suap menjadi modus yang paling umum terjadi di sektor kehutanan, mulai dari rantai regulasi, rantai perizinan, produksi kayu, penegakan hukum hingga penerimaan negara dari hasil hutan.”

Sementara itu, Mas Achmad Santosa dari Satgas REDD/UKP4 mengatakan, penegakan hukum ini harus dimulai dari penguatan penegakan hukum administrasi dengan pengawasan penaatan sebagai tulang punggungnya.

“Artinya lini birokrasi (pada pemerintah dan Pemda) yang akan berfungsi pengawas sangat mendesak untuk dibenahi. Dari mulai SDM pengawas yang profesional dan berintegritas, kemampuan mendeteksi pelanggaran, serta kemampuan menjatuhkan sanksi yang mampu menghentikan pelanggaran dan menimbulkan efek jera,” ujar Mas Achmad.

Pendayagunaan hukum pidana juga sangat diperlukan, ucapnya, apalagi kalau pelanggaran hukum telah menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk terhadap ekosistem.

Dadang Trisasongko menambahkan, “Ada beberapa rekomendasi yang penting dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam tata kelola sumber daya alam yang lestari; yaitu meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sipil guna memastikan birokrasi pemerintah melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik, khususnya soal manajemen kehutanan.”

Dadang mengatakan, penanganan perkara dengan pendekatan multi-door untuk kasus-kasus terkait Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup (SDA-LH) perlu lebih banyak dioptimalkan.
Sumber: Natgeo Indonesia