Dilema Mahasiswa Gondrong di UIN Ar-Raniry

Sumberpost.com | Banda Aceh – Seorang mahasiswa berambut gondrong di antara tongkrongan menyapa, mempersilakan kami duduk di bangku yang berteduh di bawah pohon jamblang. Bangku-bangku tersusun berhadapan, di tengahnya ada meja yang dihiasi sound pengeras suara, gelas berisi kopi dan makanan ringan.

Waktu hampir dini hari, Minggu (12/5/2019), mereka masih saja duduk bersama. Ada yang datang-pergi silih berganti, pamit duluan karena tak sanggup menahan kantuk atau terpaksa pulang karena besok harus bangun pagi, pergi kuliah. Namun, ada juga sebagian yang menginap di situ, meski ada jam kuliah esoknya.

Aktivitas malam itu sangat sibuk, ada yang mengerjakan tugas di dalam sekretariat, bermain catur, bercengkerama dan bermain gitar. Saya bercakap-cakap dengan mereka sambil disuguhi secangkir kopi.

Sekretariat yang berada di selatan kampus atau lebih tepatnya di belakang pos satpam UIN Ar-Raniry itu memang selalu ramai sejak siang hari. Itu adalah seketariat himpunan mahasiswa Fakultas Sains & Teknologi (Saintek); terdiri dari mahasiswa prodi Aristektur, Teknik Lingkungan, Biologi dan Kimia. Mereka berkumpul di sana, mulai untuk rapat himpunan atau sekadar nongkrong. Tahun ini, aktivitas di komplek seketariat itu selalu ramai. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, apalagi saat perkuliahan mendekati masa final.

Malam itu, terlihat beberapa di antara mereka ada yang memakai peci, baju koko, dan sarung. Iya, memang malam itu masih dalam suasana Ramadan.

“Ada teraweh tadi bang, kami ada tadi haha,” canda salah satu dari mereka.

Mahasiswa yang berada di sekretariat saat itu didominasi oleh yang berambut gondrong, hanya satu dua yang tidak. Meskipun rambutnya lebat-lebat, menurut mereka, itu tidak dikatagorikan berambut gondrong, sedang-sedang saja.

Isu rambut gondrong memang sedang hangat-hangatnya belakangan ini. Para mahasiswa yang berambut gondrong ini disuruh untuk merapikan rambut mereka. Tetapi mereka tidak mau melakukannya dengan alasan bebas berekspresi dan kebebasan akademik.

Mahasiswa gondrong di UIN Ar-Raniry. Foto: Adli Dzil Ikram

Salah satunya, Abay, mahasiswa arsitektur UIN Ar-Raniry. Alasan ia memangjangkan rambut adalah karena ingin merasakan gondrong.

“Lah, rambut gondrong kan memang udah jadi budaya di kampus sebenarnya, apalagi kami mahasiwa teknik. Saya memanjangkan rambut ya karena ingin panjang aja. Kalau ada dosen yang bilang menganggu atau tidak ada etika itu menurut beliau aja mungkin. Kalau masalah etika kenapa gak dibahas mahasiswa yang gimbal, cat rambut dan berpakaian sobek-sobek, itu tidak jelas. Seharusnya itu yang dipersoalkan, gondrong ini kan alami aja,” ujarnya.

Mahasiswa teknik memang indentik dengan rambut gondrong. Mereka sibuk memikirkan tugas ketimbang dirinya. “Kayaknya emang udah gitu kebiasannya,” kata mereka yang berada di sekretariat malam itu.

Biasanya, tidak banyak mahasiswa gondrong di UIN Ar-Raniry, bisa dihitung dengan jari. Namun, dalam kurun waktu semester ganjil dan genap tahun 2018-2019, mahasiwa yang berambut gondrong terbilang banyak.

Selama seminggu Sumberpost memantau mahasiswa berambut gondrong di setiap fakultas di UIN Ar-Raniry. Dari hasil reportase itu, mahasiswa berambut gondrong kampus ini didominasi oleh Fakultas Saintek. Seperti diketahui, Fakultas Saintek mengasuh jurusan-jurusan teknik seperti kampus umum lainya.

Menurut Furqan, isu merapikan rambut mahasiswa ini hanya hangat di Fakultas Saintek. Ia juga mengukapkan alasan mengapa ia memanjangkan rambut, menurutnya ini bentuk dari bebas berekspresi.

“Ini kan bagian dari bebas berekspresi. Kalau ngomong persoalan etika kan yang penting tingkah lakunya. Kenapa penampilan lebih dipentingkan dari etika. Dalam percakapan akademik, antara mahasiswa dan dosen kan yang penting etikanya,” kata wakil himpunan mahasiswa arsitektur ini.

Hal senanda diungkapkan Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, antropolog dan dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry. Ia mengatakan bahwa memanjangkan rambut hingga gondrong memang sudah menjadi kebebasan akademik, namun agak aneh kalau itu dilihat dari sudut pandang budaya orang Aceh.

“Saya sepakat bahwa gondrong itu adalah bagian dari kebebesan akademik dan kalau dari segi budaya orang Aceh itu agak aneh. Nah, kita kan Universitas Islam, jadi ya sesuaikan saja. Nanti mau sarjana juga hilang mereka itu,” jelas dosen yang sering disapa KBA itu.

Kode Etik Kampus

Pertengahan bulan Maret hingga awal April isu ini begitu hangat. Perintah awal merapikan rambut itu beredar dari grup whatsapp mahasiswa. Sumberpost menerima pesan itu yang diteruskan oleh salah satu mahasiswa Fakultas Saintek. Itulah mengapa kami measusmsikan bahwa isu merapikan rambut ini hanya hangat di Fakultas Teknik. Kami menanyakan hal ini kepada beberapa mahasiswa berambut gondrong, apakah mereka akan memangkasnya? Mengingat rambut panjang itu begitu dirawat oleh mereka.

“Kami tidak pangkas dulu, mau negosiasi ke dekan,” kata mereka saat ditemui di Fakultas Saintek, Rabu, (3/4/2019).

Mahasiswa gondrong yang mengikuti demo di Kantor Gubernur Aceh. Foto: Adli Dzil Ikram

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Dr. Saifullah, saat ditemui Kamis (23/5/2019) mengaku pihaknya belum mengesahkan kode etik kampus untuk masa kepemimpinan Prof. Warul ini. Pihaknya ingin terjun ke lapangan dahulu untuk memastikan apa yang sudah dibuat sesuai dengan fakta dan suara mahasiswa di lapangan.

“Untuk mahasiswa gondrong kami belum bisa bertindak lebih jauh karena kode etik kampus masa kami belum disahkan. Sementara ini, masalah itu saya serahkan menurut peraturan kampus masing-masing atau pribadi dosen yang mengasuh mata kuliah di kelas,” katanya

Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Ar-Raniry terkait mahasiswa gondrong tidak mempermasalahkan hal itu, dengan alasan sama yaitu kebebesan berekrepresi.

“Menurut saya, itu sah-sah saja karena hal itu tidak menjamin isi otak seseorang. Jika hanya masalah kerapian, saya kira gondrong pun bisa rapi,” ujar Luqmanul Hakim, Wapresma UIN Ar-Raniry.

Menurutnya, kampus atau penguruan tinggi harus mengedepankan prinsip demokrasi. Itu tertulis dalam Pasal 6 Huruf B UU No. 12 Tahun 2012. Apabila kampus ingin menerapkan aturan larangan rambut gondrong, hal itu bisa diperhatikan terlebih dahulu dari jurusannya.

“Ke mana jurusan tersebut berafisiliasi, jika memang itu tidak bertentangan dengan karakteristik arah jurusan mereka, saya rasa tidak perlu dilarang,” lanjutnya.

Tak Boleh Ikut Final

Meskipun perturan merapikan rambut ini diserahkan pihak rektorak ke pribadi dosen masing-masing dan sifatnya sementara, banyak mahasiswa di Fakultas Saintek tidak ingin memangkasnya.

Kami bertemu Aziz di seketariat Sema Fakultas Saintek, Sabtu siang, (25/5/2019). Aziz tampak sedang mengikat rambut panjangnya. Ia tampak sedang merapikan rambut panjangnya. Beberapa mahasiswa di dalam itu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang mengerjakan tugas, tiduran dan main game.

Aziz bercerita, ia dan beberapa temannya tidak bisa mengikuti ujian final karena dosen sudah beberapa kali menyuruh pangkas namun mereka tetap tidak pangkas.

“Cuma satu matakuliah aja yang gak bisa ikut, alasannya ya karena kami gondrong,” ujar mahasiswa yang aktif di Sema Fakultas Saintek ini.

Ia pun menjelaskan hasil duduk dengan pihak Dekan Saintek sama dengan apa yang dikatakan Warek 3 Bidang Kemahasiswaan, kembali pada pribadi dosen masing-masing.

Sumberpost mengatakan kepadanya bahwa pihak rektorat belum mengesahkan kode etik kampus. Ia pun datang dengan harapan agar mahasiswa diperbolehkan gondrong.

“Meskipun ada syarat-syaratnya nanti, sebenarnya saya pribadi gak juga melawan kali sama dosen. Kalau udah gak dibolehin ikut final ya udah, pasrah aja,” katanya. []

Reporter: Adli Dzil Ikram dan Saadatul Abadiah
Penulis: Adli Dzil Ikram