Aku, Di Usia Sumberpost Ke-15

Sumberpost.com | Banda Aceh – Usai asar, kumantapkan niat melangkah menuju pantai di kawasan Aceh Besar bersama Kak Afni, demisioner Redaktur Artistik di Sumberpost. Menggunakan ‘Blueky’, sebutan untuk nama sepeda motor kesayanganku berwarna biru. Kupikir, seharian penuh menjalani aktivitas di luar rumah akan sangat baik jika menikmati keindahan pantai sebagai penghilang penat di saat senja.

Namun nyatanya, badan tidak bisa diajak kerjasama, tangan tiba-tiba tremor saat mengendarai sepeda motor. Seusai mengambil kue tar titipan pengurus Sumberpost di kawasan Simpang Lima Banda Aceh, perjalanan berlanjut ke Lampuuk Aceh Besar. Aku tiba di sana sesaat sebelum azan magrib berkumandang.

Rianza, Pimpinan Umum baru yang terpilih 4 Maret lalu, sedang sibuk memotong ranting-ranting pohon cemara sambil menggerutu. Di dekatnya, ada enam tenda membentuk lingkaran.

“Nggak ada yang bawa parang, gimana mau motong kayu buat api unggun, ni bentar lagi gelap, nyamuk juga banyak,” karena begitulah kondisi tempat kemah jurnalistik yang dibuat oleh teman-teman Sumberpost sejak Sabtu Sore, (20/3/2021). Berada di pinggiran pantai Joel Bungalows tepat di tempat tumbuhnya pohon cemara.

Teman-teman Sumberpost kemudian punya cara sendiri untuk meredam kekesalan Pimpinannya. Rifqi, Moula dan Sayyid akhirnya memutuskan kembali ke Banda Aceh selepas shalat magrib untuk mengambil parang dan juga spanduk acara yang tertinggal di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa UIN Ar-Raniry.

Wajah murung terlihat di beberapa pengurus, selebihnya wajah bingung dari adik-adik anggota yang baru saja bergabung di Sumberpost.

Menjelang Isya, dua alumni Sumberpost tiba. Bang Irfan dan Bang Dayat. Keduanya kemudian ikut membantu meredakan kebingungan teman-teman pengurus. Inisiatif dari Bang Irfan pula, agar pengurus bisa membagi tugas lebih cepat sebelum malam semakin larut.

Dua orang di antaranya membuat kopi, dan juga mi pakai telur, hidangan andalan saat kemah. Sementara yang lainnya, sambil menunggu hidangan makan malam, kami berbagi cerita seputar jurnalistik, mulai dari bahasa jurnalistik hingga cara menghadapi narasumber.

“Ayo makan dulu, ini minya udah siap,” kata Riska. Ia adalah Sekretaris Umum sejak masa kepengurusanku hingga berlanjut di masa Rianza.

Ku pikir, untuk setingkat makanan di tempat kemah, mie telur buatan Riska dan Saadah terbilang enak, cita rasa asinnya pas, terlebih bagianku didominasi oleh telur.

Selepas makan malam bersama, kami kembali melanjutkan diskusi. Kali ini ditemani oleh salah satu alumni Sumberpost, Bang Zuhri. Ia tiba di sana sekitar pukul sepuluh malam. Ada beberapa wartawan juga yang menemaninya, seperti Bang Khalis, Bang Mufti dan Bang Habibi, keduanya merupakan alumni Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry, meskipun bukan alumni Sumberpost. Sementara Bang Khalis, ia merupakan salah satu alumni di Universitas Syiah Kuala.

Ditemani suara deburan ombak dan juga ubi rebus yang dimasak Riska, diskusi berlangsung hingga tengah malam. Sesekali suara anjing juga melengkapi diskusi kami. Ada yang lari mendekat ke tengah-tengah, hingga sedikit teriak karena ketakutan.

Sharing session antar anggota dan alumni Sumberpost.

Pukul setengah satu malam, kami baru beranjak ke tenda masing-masing. Satu tenda diisi tiga orang, yang terdiri dari demisioner, pengurus dan juga anggota baru. Aku yang membagikannya seperti itu, supaya tidak saling punya kubu. Karena di Sumberpost berkeluarga dan juga harus jadi satu. Apalagi, hari itu bertepatan dengan ulang tahun Sumberpost.

Yups! Kemah jurnalistik kali ini juga bertepatan dengan Milad Sumberpost ke-15. Rasanya tidak sabar untuk cepat-cepat menikmati kuah beulangong bersama abang dan kakak alumni keesokan hari, Minggu (21/3/2021).

Namun sayang beribu kali sayang, setiba di dalam tenda, mata sulit terpejam. Hawa panas menyerang, peluh bercucuran di sekujur tubuh. Kemah di pinggir pantai ternyata jauh berbeda ketimbang kemah di gunung. Di pantai, saat di dalam tenda serasa bak sedang berada di sauna.

Tak ayal, banyak dari kami yang baru terlelap sekitar pukul setengah tiga. Baru saja akan pulas, suara anjing melolong terdengar keras. Rasa cemas menghantui, khawatir anjing-anjing itu masuk ke kawasan kami membuat kemah dan menjilati barang-barang yang dibiarkan tergeletak di luar. Terlebih tenda milikku sengaja dibuka pintunya oleh Wawa, katanya supaya ada sedikit angin yang masuk.

Sunyi, hanya suara ombak yang saling bertabrakan, sesekali suara anjing kembali terdengar. Nyaris seperti suara serigala. Tiba-tiba pikiran dipenuhi rasa takut. Takut Tsunami, takut ada hantu.

Menjelang pukul setengah empat, suara anjing kembali terdengar tak jauh dari tenda milikku. Berani tak berani, ku angkat badan menuju pintu tenda dan menutupnya dengan rapat. Ku raih ponsel di samping jaket yang kujadikan bantal.

Jempol kananku kemudian menyentuh salah satu kontak, ‘Rianza’. Ku hubungi dia, karena yang ku tau dia satu-satunya dari kami yang tidur di hammock. Persis di atas tenda yang ku tempati. 

“Yan, ada anjing. Jangan sampai dijilat beulangong, harus samak pulak besok,” kataku.

Suaranya berat, khas orang bangun tidur. “Aman. Anjingnya nggak ke sini,” begitu katanya.

Selepas menghubungi Rian, aku kembali merajut mimpi, hingga suara ponsel kembali membuatku terbangun, kali ini menandakan alarm pukul setengah enam pagi. Selang beberapa menit kemudian, sebuah panggilan masuk dari Della, ia adalah demisioner Pimpinan Redaksi, mendampingiku menjadi Pimpinan Umum saat itu.

“Salma, bangun. Tapi keluar tendanya rame-rame ya,” suaranya berbisik seperti orang ketakutan. Wajar, sejak diskusi malam, Della yang paling takut suara anjing. “Oke,” jawabku.

Aku keluar dari tenda lebih dulu, memanggil nama mereka satu persatu. Hingga akhirnya menuju mushola bersamaan.

Selepas shalat, kami menikmati keindahan pantai di pagi hari, kemudian melakukan ice breaking, dan kembali melanjutkan diskusi. Di tengah-tengah diskusi, Rifqi kembali membawa dua puluh nasi bungkus yang ia beli di depan jalan masuk kawasan pantai Joel Bungalows.

Pagi itu, kami sepakat untuk tidak ada yang mandi, kecuali Kak Afni. Ia lebih dulu mandi ketika kami sedang shalat subuh. Curang sekali, batinku.

Menjelang pukul sepuluh, kami bersiap memasak kuah beulangong. Ada yang mencuci beras, menyalakan api, menyiapkan daging, hingga mencuci piring kotor sisa semalam.
Sayang, lagi-lagi kami mendapat ujian, dandang untuk memasak nasi yang kami sewa terlalu besar, sementara kompor yang kami bawa berukuran sedang. Menimbang-nimbang, jika mempertahankan dandang tersebut, nasi baru akan matang sekitar pukul dua belas siang.

Akhirnya, aku dan Fitra memutuskan keluar ke kawasan Lhok Nga untuk membeli dandang baru yang berukuran sedang, Fitra adalah Bendahara Umum sejak masa kepengurusanku.

“Apa nggak bilang Rianza dulu kita mau beli dandang? Nanti uangnya berkurang,” katanya karena khawatir setelah sekali sial membuat keputusan tanpa sepengetahuan Rian.

“Nggak papa. Uang kas masih aman kan? Rian tadi bilang, suruh aku ambil alih bentar apa yang bisa. Dari pada nasinya nggak matang, pasti dia lebih kesal, nanti aku yang tanggung jawab kalau dia marah,” begitu kataku. Sebenarnya akupun ragu Rian akan setuju dengan keputusanku membeli dandang baru.

Setelah berkeliling pasar, kami kembali membawa dandang berukuran sedang, cukup untuk memasak nasi setengah karung. Saadah juru masaknya. Ia adalah Pimpinan Perusahaan saat ini. Ia yang lebih paham cara memasak nasi menggunakan dandang, ketimbang kami yang lain karena terbiasa menggunakan rice cooker.

1 jam berselang, nasi yang seharusnya matang ternyata masih terasa beras. ‘Meukeuteut’, begitu bahasa Acehnya kalau tidak salah ku dengar. Akhirnya kami berinisiatif mengukus kembali. Sementara tim laki-laki sibuk memasak kuah beulangong dan sebagian lainnya melakukan diskusi bersama alumni.

Alumni Sumberpost tengah mengaduk kuah beulangong.

Selepas azan zuhur, kami baru menikmati hidangan kuah beulangong. ‘Yummm..’ rasanya pas, dagingnya juga tidak keras. Ku pikir Sumberpost cocok juga jika punya usaha catering.

Tiga tahun aku menjadi bagian Sumberpost, rasa-rasanya peringatan milad kali ini begitu berkesan. Terlebih masa kepengurusanku, kami terhalang oleh Corona yang melanda dunia. Kegiatan secara tatap muka mau tak mau harus banyak terlewatkan. Wajah-wajah paling ku senangi hanya bisa ku lihat melalui layar laptop setiap malam Minggu.

Syukurnya, masa pergantian pengurus, keadaan berangsur-angsur baik, meski tetap harus melakukan protokol kesehatan.

Perjuangan semalam suntuk mempersembahkan acara silaturahmi akbar rasanya sukses meski tak lepas dari banyak cobaan hingga berujung drama. Wajar, tanpa bumbu rasanya tidak akan sedap.

Selamat 15 tahun Sumberpost. Kupikir, tak akan mungkin ku lupa rumah pertama yang ku temui saat menjadi mahasiswa di Ibu Kota Provinsi Aceh.

Jaya selalu rumahku. Terus berkarya! []

Ditulis oleh Cut Salma Pimpinan Umum Sumberpost periode 2020-2021.