Surat Terbuka Alan Kepada Ida


Kepada Ida, yang mungkin sedang berteduh di bawah barisan pohon Kopelma Darussalam. Atau mungkin di atas kursi kelas dan kantin. Bahwa tak ada harapan bila tak ada tujuan. Maka, harapan itu tumbuh bersama hadirnya tujuan untuk mengenalmu lebih dekat. Dekat dengan bayangan baju gamismu, yang kulihat saat itu.


Bagaimana mungkin seseorang bisa mengingat persis wajah orang yang ditemuinya hanya sekali?, di antara keremunan yang terhalang banyak kepala. Dan hanya bisa mengingat samar hidungmu yang mancung dibalik riak-riak jelbab temanmu yang terbang digoda angin.


Setiap waktu, aku berusaha menyempurnakan susunan wajahmu dalam imajinasiku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mengingat persis jumlah jerawat di wajahmu?. Aku tak mau mengira-ngira kehadiranmu sewaktu-waktu, apakah kau wanita yang saat itu?. Perenungan sudah banyak sekali, benang merahnya terikat pada pertanyaan; mengapa aku bisa tertarik padamu dengan sekali tatap?. Sungguh itu bukan diriku, jika aku boleh berprasangka, jin pada tubuhmu yang telah jatuh hati padaku. Lalu ia menjadikan cintaku padamu tumbalnya. Atau setan-setan di pohon yang kau duduki bayangannya saat itu jatuh cinta padamu, kemudian ia menjadikanku alat?. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bagian dari perenunganku yang bodoh, Ida.


Maka Ida, aku telah percaya pada kata; cinta tumbuh dari mata. Namun, saat itu yang paling kusukai bukan mata, melainkan lekuk hidungmu.


Betapa tragis kubayangkan, aku harus pasrah mengetahui namamu lewat suara yang lenyap bersama suara knalpot atau gesekan daun dengan daun lainya di atas pohon. Suara dari parkiran itu berlari kencang ke arahmu, ‘Ida!!!’ kemudian suara itu memelukmu. Aku tersenyum, sebegitukah hadirmu dirindukan, dan itukah namamu, Ida. Ketiak kutatap dalam, kau menatap balik dan berpaling sebelum aku tersenyum padamu. Bagaimana mungkin kau bisa mengetahuiku saat (mungkin) membaca surat ini? dengan sekali tatapan itu?. Bagiamna mungkin?


Aku fokus pada kaki-kaki yang sedang mengejar bola di lapangan sana, beberapa menit setelah suara itu lenyap. Beberapa menit itu juga kau lenyap dari sana; saat bunga kecil berwarna kuning jatuh dari atas pohon berlabuh di wajahku. Esoknya, kulihat bunga itu padat memenuhi bayangan pohon, cantik bewarna kuning. Apakah ini keindahan Darussalam?, selain wajahmu kemarin, kataku. Maka, semenjak tatapku bertemu dengamu, aku tidak pernah melupakan bulan April selama dua tahun ini. Kunikamati bulan April berikutnya, dengan mengharap kehadiranmu di lapangan ini.


Kujelaskan Ida, aku menulis surat ini, bukan karena aku mengila padamu. Tapi, kurasa aku harus melengkapi susunan wajahmu pada imajinasiku, artinya cinta ini masih bisa dikendalikan. Dimana kita bisa bertemu, Ida?. Jika memang aku harus jatuh cinta mengila padamu nanti, maka itu diluar hal-hal surat ini.


Kukenalkan, aku Alan, mahasiswa sastra di UIN Ar-Raniry. Menjalani hidup sebagai mahasiswa tua, tak ada gairah yang harus kupertanggungjawabkan pada diri sendiri. Maka menulis surat ini adalah sesuatu yang mengetarkan. Namun, surat ini di tulis pada siapa saja. Dan jika aku beruntung, kau merasa dan askaraku bisa menyetuhmu atas kelelahan ini. Di mana kita bisa bertemu, Ida?

Kedua kalinya, aku melihatmu di seminar kampus. Masih sama, aku melihatmu dari keremunan, dari celah-celah kursi. Tapi, aku sedikit yakin bahwa kau berada di Unsiyah. Artinya, kau tidak jauh Kopelma. Fokus kuhilang menyimak pemateri berkata-kata, beberapa pandangan kemudian aku melihatmu beranjak dari kursi meinggalkan ruangan. Ingin kukejar, namun aku malu untuk mengejarmu. Rasanya tak mungkin aku berdiri, hanya untuk mengejarmu dari ruangan itu. Dalam hati kutersenyum, wajahku juga. Dan Unsyiah telah menjadi area kecil untuk mencarimu. Nanti, saat rindu.


Ida, surat ini membawa ku pada sebuah paragraf. Di mana aku rindu saat melihatmu, di bawah pohon itu. Di mana, Tepat dihadapanku, layar alam mempersembahkan aktivitas senja yang indah. Suatu hari, cita-citaku, ingin menyusun bau minyak wangi bajumu di hidungku. Bahwa ini hanya kata pencari, maka di mana aku bisa menemukanmu?. Langit terasa gaib, angin terasa mati, dingin tak terasa lagi, saat ku ingat tanda tanya itu.


Maka, aku hanya bisa berharap pada Kopelma. Boleh jadi aku menyembah tugu itu suatu saat. Ketika lelah menyapa. Tidak Ida, aku tidak bisa begitu. Aku yakin tugu Kopelma adalah tangan kanan tuhan, untuk mempertemukan kita, setelah kau membaca surat terbuka ini. Bisa saja aku gila, bila suatu hari nanti aku diusir dari sini. Lalu, Kopelma bertembok-tergembok dan aku dilarang masuk kesana. Bagaimana mungkin itu terjadi?.


Bagiku, Kopelma adalah romatisme kata di atas keramaian. Senja saja tepat berhadapan pintu gerbang ketika sore hari. Melewati gerbang itu, bagiku jalan pulang paling menyenangkan. Sekali-kali singgah, mengenapkan jadwal makan di pinggir jalan. Kemudian, macam-macam tingkah adalah hiburannya. Kukira, kau juga merasakan hal itu Ida.


Memang iya, surat terbuka ini ditulis ke arah siapa saja, seperti bunga kecil yang jatuh ke hadapan siapa saja. Namun, setiap kata yang hadir, adalah narasi imajinasiku tentang wajahmu. Kaulah ruhnya, Ida. Kutulis surat ini di atas Rabu. Sedangkan, kertas hanya suruhan dosenku, ketika aku sudah enam kali tidak masuk kelas. oleh demikian, menyusun kata-kata agar Ia luluh adalah hukuman. Kuserahkan saja surat tebuka ini, dan Ia luluh. Aku dimaafkan.


Begitulah, Ida, segenap harapan kucurahkan di sini. Bila tidak kutulis surat terbuka ini, bagaimana lagi aku bisa mencari jejak lakahmu?. Sekian Ida.


Aku dan temanku, Indra, saling menatap setelah kubaca surat ini keras dengan bunyi yang tersusun. Apa yang terjadi dengan Alan?, siapa dia?. Begitu pertanyaan yang keluar dari kepalaku. Surat itu terselip di bawah pintu seketariat kami. Tidak pernah kami menemukan surat dengan kata-kata seperti ini.


“Undangan liputan pasti tu,” ucap Indra.


Senja memang begitu indah sore itu. Kami menunggunya tengelam sebelum bisa merokok. Indra menarik surat itu dari tanganku lalu membaca pelan dalam hati. Aku melihat sejumlah daun berguguran digoda angin, seperti hati Alan kepada Ida mungkin. “Kopelma satukan mereka!,” doaku.

Adli Dzil Ikram, penulis adalah jurnalis di Sumberpost. Email: adzilikram04@gmail.com