Kisah Korban Tsunami Selamat Dililit Ular

Sumberpost.com | Banda Aceh- Minggu, 26 Desember 2004 silam, gempa bumi berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR) mengguncang provinsi paling ujung barat Indonesia, diikuti gelombang Tsunami setinggi 100 kaki (30 meter) yang menewaskan korban lebih dari 230.000 jiwa di sepanjang negara Samudera Hindia, termasuk Thailand, Sri Lanka dan India.

Mengenang kisah pilu yang melanda Aceh di 2004 silam, Sumberpost.com menayangkan laporan khusus tentang kenangan para penyintas.

Umi Kalsum salah satunya. Akrab disapa Mak Sum, menjadi salah satu saksi akan kedahsyatan muntahan air laut tersebut. Ketika kejadian, wanita paruh baya itu berada di rumahnya di Gampong Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Aceh Besar, Aceh.

Saat semua orang dalam keadaan panik, Mak Sum memilih tidak keluar dari rumahnya. Sementara sang suami berada di pantai Alue Naga untuk menarik pukat.

Kepada Sumberpost.com, Senin (23/12/2019) Mak Sum mengatakan, sesaat setelah gempa berhenti, Mak Sum sembari menangis membereskan tanaman bunga yang berantakan diakibatkan oleh guncangan gempa.

Rumah Mak Sum berada tak jauh dari bibir pantai, rumahnya berjarak sekitar ratusan meter dari pantai. Bahkan mayoritas penduduk di Alue Naga bekerja sebagai nelayan.

Mak Sum melanjutkan ceritanya, mengenang kisah pilu Aceh kala itu. Belum hilang rasa panik, ia kembali dikejutkan dengan kabar air laut meninggi. Hari itu sang anak meminta Mak Sum merangkul cucunya.

Bek kapegah macam-macam, yang hana bek lake [jangan kamu katakan macam-macam, yang enggak-enggak jangan diminta],” katanya tak percaya.

Meski awalnya tak percaya, Mak Sum mencoba menyelamatkan diri dari terpaan air laut. Ia berlari menaiki rumah dua lantai yang berada di depan rumahnya.

Belum sampai di sana, air laut sudah lebih dulu menghempas Mak Sum hingga tak sadarkan diri. Mak Sum baru sadar ketika dirinya berada dalam lilitan seekor ular besar di atas tumpukan material yang mengalir disapu oleh pekatnya air bah.

“Saya sadar ketika berada di bawah jembatan Lamnyong, itu pun karena saya mendengar suara lantunan azan yang dikumandangkan dari atas jembatan, ketika itu pula saya sadar sedang berada dalam lilitan ular yang kepala ular tersebut mengarah ke wajah saya,” ujarnya.

Dalam kondisi terlilit ular dan terbawa oleh air laut, Mak Sum berbicara pada binatang berbisa itu.

Neutulong peuselamat lon, neu pe’ek lon u darat binatang metuah [tolong selamatkan saya, bawa saya ke darat binatang baik],” ujar Mak Sum.

Dengan mata mulai berkaca-kaca, Mak Sum kembali menceritakan kisahnya, dalam lilitan ular di hari huru hara itu ia menyaksikan begitu kuatnya hempasan air laut.

Bahkan ia melihat korban Tsunami seperti dirinya yang ikut hanyut. Salah satu dari korban itu mengahantam beton jambatan, hingga darahnya mengenai wajah Mak Sum. 

Menurut Mak Sum, banyak orang yang hendak menolongnya, namun tak berani, lantaran melihat Mak Sum dalam kondisi dililit ular besar.

Mak Sum yang masih berada dalam lilitan ular tersebut kembali tak sadarkan diri. Ia baru sadar sepenuhnya ketika sudah berada di atas pohon cemara dengan kondisi tubuh masih dililit ular.

Mak Sum pasrah, mengira dirinya akan menjadi mangsa ular bercorak sepeperti baju tentara itu. Di luar dugaan, ular besar tadi justru melepaskan lilitan dan meninggalkan Mak Sum begitu saja ketika ada beberapa relawan PMI yang hendak menolong Mak Sum.

Dengan kondisi yang kacau selepas hempasan air laut tersebut, Mak Sum yang selamat sempat dibawa dan diletakkan bersama tumpukan mayat korban Tsunami, sebelum dibawa menuju Masjid Jamik Darussalam untuk mendapatkan perawatan.

15 tahun sudah tragedi pilu itu. Mak Sum yang sudah berumur 70 tahun, kembali melakukan aktifitas seperti biasa dan tinggal seorang diri di rumah yang berdampingan dengan rumah anaknya. Sementara suaminya mati syahid bersama korban yang lain.

Kini ia berjualan di kios kecil yang berada di samping rumahnya serta menjadi bidan kampung dan memandikan orang yang sudah meninggal.[]

Reporter : Rianza Alfandi (mag)