Kisah Seorang Buta Rela Bekerja Untuk Anaknya

Matahari masZainuddinih malu-malu dibalik awan gelap yang menyelimuti sebuah perkampungan yang bernama Desa Ruyung kecamatan Mesjid Raya. Meski jam telah menunjukkan pukul 8:00 WIB, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang didaerah yang berjarak 25 Km dari pusat kota Banda Aceh itu.
Selama setengah jam saya bersama seorang rekan duduk di sebuah warung kopi yang terletak disamping SDN Ruyung itu, hanya terlihat beberapa sepeda motor, mobil pribadi dan tiga angkutan umum (labi-labi) yang tampak mondar-mandir dijalanan baik menuju arah pusat kota maupun ke arah Krueng Raya yang berjarak tiga kilometer lagi dari tempat saya duduk sambil menikmati coffemix panas yang menjadi minuman favorit saya.

Selama duduk disana, kami terus melihat ke sebuah rumah panggung sederhana berukuran 5×7 m itu. Di depan rumah yang berbahan kayu tanpa cat itu juga terdapat kandang ayam yang hanya dihuni oleh seekor induk dan enam anak ayam.

Mariana (46) melihat dua anak kesayangannya sedang bermain di sebuah lahan kosong yang tampak berlumpur disamping rumahnya. Dengan berpegangan pada tali jemuran yang terbuat dari kawat di depan rumahnya itu, ia terus mengawasi anaknya yang sedang tertawa bersama teman-temannya.

Mariana ialah istri Zainuddin (49), seorang penjual buah dikawasan Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma), Darussalam. Hampir disetiap hari sekolah, ia mencoba mengais rezeki dengan berjualan di depan Fakultas Ekonomi Universitas Syahkuala Banda Aceh.

Dengan memanfaatkan trotoar kosong dipinggir jalan, ia membentang karung tua bermuatan 30 Kg untuk diduduki. Sebuah meja berukuran 80×40 cm yang terbuat dari kumpulan kayu-kayu lusuh dijadikan tempat ia menaruh buah-buah yang ia jual seperti mangga dan sirsak. Selebihnya tetap ia tempatkan di dalam keranjang besar miliknya.

Dengan kondisi yang tak bisa melihat, ia membawa kedua putranya untuk membantunya berjualan. “Saya biasanya pergi ke sana bersama mereka, setelah Rahmat pulang sekolah sekitar pukul 2 siang,” kata pria berkulit sawo matang ini saat sedang duduk di tangga bagian teratas rumahnya sambil  menghisap sebatang rokok Dji Sam Soe saat kami temui di kediamannya, Minggu, 11 November 2012.

Ia memilih Kopelma sebagai tempat ia membuka lapak bukan tanpa pertimbangan sebelumnya. Ia hanya punya waktu berjualan pada siang hari, maka ia memilih tempat dimana yang pada saat siang hari hingga sore hari masih banyak pengendara yang lalu lalang.

“Ya kan kalau sore hari, di Darussalam masih rame mahasiswa atau anak-anak sekolah,” kata pria yang suka menggunakan baju koko dan celana kain setiap pergi berjualan itu.

Buah yang ia jual bukan dari hasil perkebunan miliknya, melainkan ia beli dari orang-orang kampung di dekat rumahnya. “Kadang-kadang juga saya harus beli di pasar induk Lambaro untuk saya jual kembali,” kata pria yang hanya ingat lahir pada Juli 1963 ini.

Buah yang ia beli dari pemilik pohon harus mencapai minimal 100 Kg, jika tidak maka tak ada yang akan memetik buah tersebut. Untuk sekali petik akan membutuhkan dua orang pemetik, satu orang bertugas menyambut mangga dari bawah, seorang lagi memetik mangga tersebut. Upah mereka dihargai Rp1000 / Kg, maka untuk 100 Kg, Zainuddin harus membayar untuk si pemetik Rp 100 ribu, belum lagi ia harus membayar untuk pemilik buah mulai dari Rp 1500 hingga Rp 1800 / buah.

Setiap hari ingin berjualan, minimal Zainuddin harus merogoh kocek dalam-dalam. Untuk transpotrasi saja, ia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 40 ribu untuk ongkos pulang dan pergi ke tempat jualannya, belum lagi untuk jajan anaknya saat berada disana. Syukur ia mempunyai angkot (labi-labi) langganannya yang dikendarai oleh Adius.

Dengan Adius, ayah dari Rahmad dan Mukhlis itu merasa aman lantaran diantar hingga ke tempat tujuan.

“Biasanya saya telpon dia dulu, kemudian baru dia menjemput saya,” kata dia,  “Kadang saat saya telpon, dia sedang berada di Peunayong, jadi ya saya harus tunggu dia sampai satu jam” kata pria yang akrab disapa Zainun di kampungnya itu sambil menunjukkan wajah pasrah.

Biasanya ia sampai ditempatnya berjualan sekitar pukul dua siang. Sampai disana suami Mariana bersama kedua anaknya ini langsung mengeluarkan buah yang hendak dijual dari karung dan menatanya diatas meja lusuh itu.

Meski tak dapat melihat, namun pria kelahiran Meulaboh itu sangat tahu kapan waktunya untuk pulang. Kira-kira jam telah menunjukkan pukul 17:30 WIB, ia langsung bergegas untuk pulang. “Ya tunggu dijemput nantinya oleh si Adius,” kata Zainun. Tapi terkadang Adius tak selalu bisa menjemput atau mengantarnya pulang, ia terpaksa harus naik labi-labi lainnya untuk sampai ke rumah.

Tak sebentar, terkadang untuk tiba di rumah tuanya itu, Zainuddin harus rela duduk di dalam angkutan umum tersebut hingga satu jam lebih. Pantas saja, karena labi-labi yang dinaikinya memutar ke arah kota dahulu sebelum kembali ke arah Krueng Raya.

Keuntungan yang didapat dari sehari berjualan itu tak menentu, jika cuaca bersahabat, ia bisa meraup keuntungan hingga Rp 200 ribu dalam sehari. Namun jika dalam cuaca hujan, maka ia harus bersiap-siap untuk rugi karena dagangannya hanya terjual sedikit.

Saat tiba waktu hujan, pria paruh baya ini langsung mencari tempat untuk berteduh bersama Rahmat dan Mukhlis. Barang dagangannya dibiarkan basah terkena guyuran hujan. “Biasanya pas hujan kami langsung berlari ke warung kopi terdekat biar tidak kenak hujan,” kata dia. Terkadang buah dagangannya itu bahkan tidak laku sama sekali.

Saat ditanya soal pernahkan dia ditipu saat berjualan, pria yang begitu menyayangi anaknya itu dengan santai menjawab, “Tidak tahu saya, ya rezeki kan sudah ada yang atur, kalo ditipu itu resiko saya,” katanya.

Sejak kecil, Zainudin sudah terbilang rajin, ia tak mau merepotkan orang tuanya. Dengan modal semangat ia mulai berjualan apa saja untuk mendapatkan uang, minimal untuk dirinya sendiri.

***

Hari itu cerah. Angin sepoi-sepoi, dan awan putih yang menjulang di angkasa tampak begitu indah dan begitu memanjakan mata. Meski masih menginjak umur tiga tahun, namun layaknya anak desa lainnya, Zainudin cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Saat itu matanya masih berfungsi dengan baik. Tiga saudaranya mengajak Zainun pergi bermain ke hutan. Dengan tingkah polosnya ia menyanggupi ajakan saudaranya dan tak tahu bahwa itu adalah hari terakhir ia bisa melihat dunia dengan matanya.

Kala asik bermain di hutan, Zainudin beserta ketiga saudaranya tiba-tiba terkena Menrampot (Bagi masyarakat Aceh, penyakit ini semacam pemberian dari setan atau mahluk ghaib lainnya yang tidak senang dengan seseorang atau merasa terganggu dengan keberadaan manusia di tempat mahluk itu  menetap).

Dari ketiga saudaranya yang lain, hanya satu orang yang bisa sembuh lantaran di bawa ke tempat rajah (semacam orang pitar yang mampu menyembuhkan penyakit-penyakit aneh). Sedang nasib malang menimpa Zainudin kecil bersama dua saudaranya yang lain. Mereka dibawa ke rumah sakit sehingga matanya tak bisa tertolong lagi.

“Kata dokter saat itu cuma bisa ditolong jika ada pendonor, itupun yang bisa hanya mata sebelah kanan saja, yang sebelah kiri sudah tidak bisa lagi,” kenang pria yang sudah menikahi mariana selama 19 tahun ini yang tak terasa sudah menghabiskan dua batang rokok dji sam soe nya.

Sekarang ia pun tak terlelu memperdulikan matanya lagi. Ia hanya berfikir tentang bagaimana caranya mencari uang untuk menghidupi istri dan kedua anaknya.

***

Menjadi penjaja buah baru ia geluti usai Aceh diterjang gempa dan gelombang dasyat pada 26 Desember 2004 silam yang biasa dikenal dengan nama Tsunami Aceh. Sebelumnya pria yang hanya terdiam saat ditanya siapa nama orang tuanya itu mengaku sempat menjual udang dan tiram di pasar Peunayong pada pagi hari. Hewan yang hidup di air itu di dapatnya dari tambak dibelakang rumah yang saat ini ia tempati.

Usaha itu sudah dimulainya pada tahun 1988. Ia pun mampu mempekerjakan dua orang untuk membantunya membawakan hasil tambak ke Peunayong. “Biasanya kami pergi saat masih subuh, dan sudah bisa pulang pada pukul 9 pagi,” kenangnya sambil membakar rokok ketiganya. Tak sampai disitu saja, hasil tambak yang ia kelola itu sampai ke Medan untuk dijual.

Saat berjualan dulu, kata Zainudin, ia merasa sangat bersyukur dengan apa yang ia dapat, penghasilannya pun tak sedikit. Namun kini ia harus berjualan buah lantaran tambak milik tetangganya itu kering. Tapi ia tetap bersyukur dengan apa yang ia dapat saat ini.

“Alhamdulillah Tuhan dulu kasih saya rezeki lebih, walaupun sekarang cukup-cukupan,”

Zainuddin sangat tidak suka bergantung kepada orang lain, ia memilih berusaha keras dengan pekerjaan yang baik dari pada harus mengemis di jalanan. Ia juga menyatakan tidak senang terhadap orang yang suka meminta-minta tanpa berusaha terlebih dahulu.

Jika kita, kata Zainudin, suka meminta-minta dan menjadikan itu sebagai pekerjaan tetap, maka bersia

plah untuk tidak diperhatikan lagi oleh orang lain apalagi orang yang berada di dekat rumah kita.

“Saya lebih senang mencari uang sendiri. Jika saya meminta uang dijalan, maka nantinya saya akan bergantung kepada orang lain dan saya tidak suka itu,” tegas Zainun.

Dengan memanfaatkan uang yang ia tabung, kini Zainun dan keluarganya sedang berusaha membangun toko kecil miliknya sendiri di sekitar jalan Limpok. Toko berukuran 7×6 itu jika sudah rampung rencananya akan dijadikan tempat berteduhnya kala hujan menghampiri.

“Rencara saya, jika sudah

selesai tempatnya, Insya Allah saya akan buka usaha jahit atau tempat pangkas, nanti saya hanya mengambil persennya saja,” bayang Zainun.

Rencana masa depannya itu hanya dia tujukan untuk kedua orang anaknya yang sudah ia tunggu kehadiran mereka di muka bumi selama 10 tahun, Rahmad dan Mukhlis.

Ia bertekat dan berprinsip, jika saat ini ia merasakan pahitnya kehidupan, jangan sampai anaknya merasakan hal yang sama sepertinya.

“Ka long susah, Bek le jih susah (sudah saya susah jangan dia (Rahmad dan Mukhlis) lagi yang susah),” katanya sambil membuang puntung rokok ketiganya.

Reporter : Rayful Mudassir