Menelisik ‘Pasar Mafia Kasur Impor’ di Senapelan

“Kalau dibilang bisnis mafia dan macam-macam, mereka memang dari zaman dulu sudah ada, termasuk di sini,” kata Mike, Pemandu Wisata Senapelan dari komunitas Pekanbaru Heritage Walk.

Besi-besi tua berbunyi tatkala transaksi berlangsung. Sejumlah pedagang yang menjajakan rantai, mesin air, plat besi hingga alat-alat bangunan sibuk melayani pembeli pada hari pasar, Minggu. Sementara toko sebelahnya dipenuhi tali tambang dan berbagai peralatan kapal. Pelak ban dan ban juga berbaris rapi di sepanjang tepi jalan. Kendaraan-kendaraan melintas kencang, nyaris tak menggubris pejalan kaki yang hendak menyebrang. Sepanjang Jalan Kota Baru Senapelan, Pekanbaru, berjejer rapi toko-toko yang menjual produk impor dalam kondisi bekas. Senapelan adalah sebuah kecamatan di tepi sungai Siak yang terdiri dari enam kampung. Wilayah ini menyimpan banyak sejarah hingga menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pekanbaru Riau.


Berjalan ke arah Pasar Bawah, ada pula pedagang yang menjual perabotan rumah tangga, kursi hingga kasur-kasur. Meski kondisi barang yang dijual sudah bekas, orang-orang tetap memenuhi toko, berburu barang impor.
Seorang pedagang kasur bekas, Saipudin mengatakan, kasur-kasur yang ia jual umumnya berasal dari Singapura. Hampir setiap hari ia mampu mencapai omzet hingga tiga juta rupiah.


“Kami dapat barang impor ini melalui orang, diambilkan dari kapal yang melintas di sungai Siak dan dibawa ke sini,” jelasnya saat ditemui di tokonya, Kota Baru (21/7/2019).


Baru saja pembeli datang mencari kasur impor ke toko Saipudin. Ia bersama dua rekannya sibuk menawarkan hingga memilih kasur bekas terbaik untuk pelanggannya. Berbagai kasur dengan merek terkenal dijual di sini, seperti King Coil dan Kelly. Ia membuka harga sebesar Rp 800.000 hingga Rp 5.000.000. Sementara harga kasur ini dalam kondisi baru, katanya, mencapai Rp 50.000.000. Dilansir dari situs jual beli online Tokopedia.com, harga King Coil berkisar antara 30 hingga 100 jutaan.


Kasur-kasur berjejer rapi di tokonya, besar dan kecil, beragam jenis dan ukuran. Di balik itu, rekannya duduk di kasir sambil menghitung-hitung dan mencocokkan harga dengan pembeli, menulis di secarik kertas. Saat itu pelanggannya datang berombongan enam orang, sebuah keluarga.


Berpindah ke teras toko, Saipudin mengenalkan kasur dengan inovasi baru, Busa Gandeng, begitu orang biasa menyebutkan. Bentuknya seperti dua kasur biasa yang disatukan dengan kain. Tangannya membuka kasur itu sehingga tampak seperti kasur pasangan, lebih lebar. Kemudian ia menutupnya kembali, ini cocok untuk lajang katanya. Saat dilipat, kasur menjadi lebih tebal dan tinggi hingga menyisakan ruang yang luas jika ditaruh di dalam kamar, cocok untuk anak kos.


”Kami buat busa gandeng sejak 2014 lalu, bisa laku 15 pasang per bulan,” katanya.
Kasur-kasur yang dipajang di depan pintu sebelah kanan berlapiskan plastik, mirip kasur baru. Tidak ada lagi busa yang keluar atau pun per patah. Merek yang dijahit pabrik masih merekat sempurna. Hanya saja warna kasur ini yang mulai pudar dan kusam.


Ada pula beberapa tanpa plastik. Bagian-bagian yang robek telah dijahit, sebagian kasur yang tampak luarnya terlihat kotor, dilapisi dengan kain lain, dibuat beritsleting sehingga dapat dicuci jika kotor.


Seorang pembeli, Faridah mengatakan, ia senang dengan kasur impor bekas karena kualitasnya yang bagus meski tak lagi baru. Kasur ini lebih awet dan empuk.
“Kalau beli yang baru dan ori di mal mahal, ini saja sudah bagus kualitasnya, tahan lama,” katanya.


Berbicara tentang izin impor barang ,Saipudin mengatakan tidak tahu-menahu. Ia hanya menerima dari pengepul untuk dipasarkan kembali. Ia mengatakan, selama ini belum ada pihak yang datang memeriksa barang-barang di tokonya. Petugas-petugas biasanya hanya merazia kapal yang membawa barang.


Usaha jual beli kasur impor bekas ini merupakan turunan dari pamannya yang telah berjualan sejak 1999 lalu dengan sumber barang yang sama. Hampir seluruh toko di Jalan Kota Baru juga mendapatkan barang dagangan dengan cara serupa. Katanya, kalau saja pemerintah melarang total dengan tegas transaksi kapal, maka sebagian besar toko-toko selingkungannya akan tutup, berimbas besar bagi faktor ekonomi masyarakat Senapelan.


Pemandu wisata Senapelan dari komunitas Pekanbaru Heritage Walk, Mike Agnesia mengatakan, bisnis impor barang melalui kapal di Sungai Siak memang sudah ada sejak dulu. Bahkan wilayah ini adalah salah satu yang terkuat karena perdagangannya yang juga terkuat.
“Bayangkan kita menjadi pusat impor terbesar di Sumatera,” katanya menjelaskan bagaimana pesatnya kemajuan perdagangan masa lalu.


Berdasarkan keterangan Mike, zaman dulu, wilayah Siak adalah salah satu jalan masuk barang ke pulau Sumatera. Barang-barang impor yang datang kemudian dipasarkan lagi ke sejumlah provinsi seperti Sumatra Barat, Sumatera Utara dan Jambi. Begitu besar peran dan porsi perdagangan kota ini di masa lalu.
“Dulu sungai adalah halaman depan rumah, sekarang jadi jamban,” katanya.

Reporter : Cut Della Razaqna