KPM di Rumah dalam Keadaan Pandemi COVID-19, Begini Reaksi Mahasiswa

Sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona, sejumlah Universitas di Indonesia mulai memberlakukan kuliah jarak jauh dengan sistem dalam jaringan (daring).

Kini tak hanya kuliah biasa yang dilakukan dari rumah. Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) atau beberapa universitas menyebutnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga terpaksa dilakukan di rumah.

Di Aceh, instruksi untuk mengalihkan perkuliahan memang sudah diterima sejak 16 Maret lalu. Sebagian dosen kemudian mencari media alternatif yang mudah digunakan, seperti tetap menggunakan WhatsApp Group (WAG) sebagai media belajar, serta ada pula yang menggunakan ruang kuliah non fisik trobosan Google.

Meskipun terkesan mudah dan jauh lebih hemat biaya. Ternyata KPM di rumah tetap menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa.

Beberapa mahasiswa menganggap, kegiatan yang diwacanakan masih belum jelas mekanismenya.

“Jangan tanyak, semua di grup oon kami, kurang jelas kasih info. Bilang kelompok bilang individu,” ujar Samsul Bahri, Sabtu (18/4/2020), melalui pesan singkat What’s App dengan Sumberpost.com.

KPM yang harusnya dilakukan secara kelompok, kini kesannya beralih menjadi tugas individu di kampung masing-masing. Jikapun disebutkan kelompok, anggotanya tentu tidak berada di daerah yang sama. Ada yang dari Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Barat misalnya.

“KPM yang harusnya dilakukan secara kelompok kok yang sekarang ini kaya tugas individu di kampung masing-masing. Karena satu kelompok ada yang dari Banda Aceh, Aceh Besar dan Melaboh,” kata Musfirahtuddin.

Tak hanya ketidakjelasan mekanismenya. KPM di rumah juga menuai kontra terkait persoalan dana yang akan dibawa kemana nantinya.

“Dana KPM untuk siapa? 😂,” tulis akun bernama @riskamunawarah. Pertanyaan tersebut ia tulis pada kolom komentar postingan Sumberpost, Minggu sore (19/4/2020). Sumberpost memberi wadah untuk mahasiswa akhir mengeluarkan pendapatnya pada postingan berjudul “Setujukah Mahasiswa Akhir dengan Kebijakan KPM-DR?”.

Lagi-lagi tak hanya perihal mekanisme dan dana yang tidak jelas. Sebagian dari mereka juga keberatan mengingat KPM seharusnya dilakukan sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat, sesuai dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Namun justru sedikit melakukan kegiatan dengan masyarakat.

“Kuliah pengabdian media sosial,” tulis akun bernama @azmi_yn.

Akun lainnya membalas, “Terlalu lucu untuk kuliah pengabdian masyarakat malah diadakan di rumah, seperti dipaksa harus ada walaupun ya seadanya,” sebut @nindakyy.

KPM-DR yang diwacanakan akan dilakukakan di kampung halaman masing-masing mahasiswa dinilai tidak memiliki dampak positif untuk perkembangan pengalaman mahasiswa itu sendiri.

“Sama sekali tidak setuju, tidak ada pengalaman yang didapat dalam pengabdian kepada masyarakat. Apalagi kita disuruh KPM di kampung masing-masing, permasalahannya dari kecil sampai sekarang ya memang di sini. Pengalamannya pun gitu-gitu aja,” ujar @thariqulhaqqy96.

Tak hanya sampai di situ. KPM di rumah kerap menjadi keluhan sebagian mahasiswa lantaran sifatnya yang membutuhkan jaringan internet. Beberapa di antara mereka terkendala mulai dari jaringan yang tidak stabil hingga borosnya penggunaan paket internet.

“Jikapun dibagikan kuota internet, ada mahasiswa yang tinggalnya di pedalaman. Sangat susah akan jaringan,” tulis akun @rahmi7923.

Ia juga mengakui, daerahnya sangat sulit jaringan, jangankan untuk operator yang harganya terjangkau oleh mahasiswa dengan jaringan yang hanya ada di lokasi tertentu. Operator yang umumnya digunakan oleh semua lapisan masyarakat dengan sinyal yang terbilang memadai saja, di daerahnya kerap timbul tenggelam. Belum lagi listrik yang seringkali padam.

“Kampung aku jangankan jaringan Axis, Telkomsel saja sulit bro. Belum lagi lampu sering mati,” sebutnya.

Rahmi juga beranggapan, jika KPM-DR tetap dilakukan dan mengharuskan mahasiswanya mencari lokasi terjangkau jaringan internet, tentu itu juga membutuhkan waktu yang lama bagi sebagian mahasiswa seperti dirinya.

“Boleh jika disarankan pergi ke warnet atau warung kopi yang menyediakan WiFi. Percayalah kawan, saya butuh waktu satu jam perjalanan untuk sampai ke tempat warnet atau warkop yang menyediakan WiFi,” katanya.

Di tengah keadaan pandemi seperti ini, memang sangat wajar jika setiap kebijakan yang dibuat tidak dengan mudah diterima oleh banyak orang.

“Kami selaku mahasiswa kan juga bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana sih pihak kampus mengambil kebijakan?,” tulis akun bernama @ikh_sblw.

Mahasiswa beranggapan, ada baiknya jika KPM ditunda hingga keadaan kembali kondusif atau seperti rencana awal. Sebelumnya, UIN Ar-Raniry sempat membuat kebijakan penundaan jadwal KPM Reguler, yang tadinya bulan empat. Diundur menjadi bulan enam.

“Kenapa tidak ditunda saja, ambil rencana awal KPM bulan 6, atau ditiadakan dan dikembalikan spp kami,” tulis lagi @rahmi7923.

Sebagian mahasiswa terpaksa menerima kebijakan tersebut lantaran khawatir jika tertunda KPM akan dikenakan biaya kuliah kembali di semester depan.

“Sebenarnya nggak setuju. Tapi pilihannya cuma 2, ya dari pada hangus spp sia-sia. Tahun depan harus bayar lagi, pikir sayang juga orang tua,” tulis akun @khafakhalidar12.

Walaupun begitu, dengan serangkaian polemik yang terjadi, kita semua tentu berharap situasi ini dapat segera diatasi dan kembali normal. Demikian juga kebijakan kampus yang diharapkan dapat mempertimbangkan keadaan mahasiswa di tengah pandemi ini.[]

Penulis : Cut Salma H.A