Penghasilan Petani Garam Turun Drastis Selama Pandemi


Sumberpost.com | Banda Aceh – Gubuk reot berdampingan dengan deretan terpal putih melengkung berdiri kokoh di pinggir Pantai Kajhu, di sana tampak seorang pria paruh baya mengenakan pakaian warna terang dan topi pelaut, ia berjalan pelan dengan memegang sepotong kayu sambil sesekali bergerak maju dan mundur untuk menarik air laut di sela-sela terpal putih yang disangga dengan bambu tua itu.

Desir angin dan terik matahari yang menyengat kulit tidak menjadi penghalang bagi pria yang berprofesi sebagai petani garam tradisional.

Tanpa mengenal rasa lelah, ia tetap tegar dalam mengais rezeki di tengah himpitan era yang serba canggih ini.

Di lahan berbentuk tambak yang luasnya kurang lebih 1.500 meter persegi tersebut, salah seorang pria berumur senja berpeluh keringat dalam mengisi waktu kesehariannya dengan telaten memproduksi garam tradisional.

Garam yang diproduksi itu bukan hanya sebatas untuk kecukupan dapur sendiri, melainkan juga sebagai salah satu sumber ekonomi keluarganya.

Pria itu ialah Muslim Yusuf, satu-satunya petani garam tradisional yang memilih tetap bertahan untuk memproduksi garam di Kawasan Pantai Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar.

Seperti biasa, pagi itu, Sabtu (24/10/2020), Muslim sedang mengumpulkan garam yang sudah dijemur dan diendapkan selama beberapa hari dengan sebatang kayu berdiameter satu setengah meter yang kemudian dituangkan ke dalam dua kuali besar berukuran 1 x 2 meter.

Di dalam gubuk reot yang menjadi dapur pengolahan garam terlihat kepulan asap dari kayu pembakaran. Muslim terlihat sangat lihai memainkan sekop khusus yang digunakan untuk mengaduk garam itu, meski sesekali ia tampak mengusap kedua bola mata dan menyapu keringat yang mengalir diwajahnya. Kendati demikian, tidak membuat semangatnya surut.

Dalam kesehariannya, pria yang akrab disapa Pak Muslim itu bisa memproduksi 100 kilogram garam dalam sekali masak. Namun, perolehan sebanyak itu tidak menjadi angka pasti, melainkan tergantung pada bagus tidaknya cuaca.

“Prosesnya sampai lima jam baru masak dengan memperoleh garam sebanyak 100 kilo sekali masak. untuk sekali masak saya biasanya mengabiskan kayu sebanyak 100 kilo,” kata Muslim, sambil memperlihatkan garam yang sudah diolah dan siap dikonsumsi.

Aktivitas ini sudah dilakoninya sejak tahun 2009 lalu. Dimana pada saat itu terdapat lima petani garam lainnya yang juga berada di kawasan tersebut. Namun tidak bertahan lama, lambat laun para petani lainnya memilih meninggalkan profesi itu. Hal tersebut diakibatkan karena tanggul laut yang terlalu rendah, sehingga saat terjadi bulan purnama, pasang laut menyambar tambak para petani.

“Yang membuat ramai tidak bertahan karena kendalanya yang diakibatkan oleh tanggul laut yang terlalu rendah. jadi ketika bulan purnama atau air pasang membuat tambak garam putus atau roboh, jadi makanya kawan-kawan petani yang lain nggak sanggup mikir,” ujar Pak Muslim.

Terlihat tak ada beban serius dengan aktivitas yang dilakoninya sehari-hari itu. Sebab, pekerjaan ini sudah dikakukan Muslim sejak bertahun-tahun lamanya. Namun disayangkan, nasib petani garam masih saja sama dari tahun-tahun yang sudah berlalu, bahkan nasibnya terasa kian asin.

Poses produksi garam secara tradisional

Proses dalam pembutan garam tidak semudah yang dibayangkan. Faktor cuaca sangat mementukan hasil produksi salah satu bumbu masak yang wajib ada di dapur itu. Apalagi, proses produksi yang terbilang tradisional, masih sangat mengandalkan bantuan dari sinar matahari.

Seperti proses produksi garam yang dilakukan Muslim di pesisir Kajhu. Di tempatnya, terdapat dua metode yang digunakan untuk memanen dan memproduksi garam, yakni garam jemur dan garam rebus.

Dari kedua jenis garam itu, Muslim memanennya dengan tempo waktu yang berbeda. Garam jemur dipanen setiap sepuluh hari sekali, sedangkan garam rebus dipanen setiap hari, kecuali hari Jumat. Kembali ke faktor cuaca,  jika musim hujan melanda, maka bisa jadi Muslim menghentikan produksinya sementara.

Dari kedua metode proses pembuatan garam itu, pembuatan garam jemur lebih terbilang lama dan ribet, yakni ia harus mempersiapkan tempat penampungan atau tambak airnya terlebih dahulu. Tambak tersebut ialah bentangan plastik hitam panjang yang dibentuk petak seperti kolam, tapi tidak sedalam kolam renang.

Hanya sekitar sejengkal. Setelah itu, air yang sudah ditampung tersebut didiamkan selama seminggu atau paling cepat tiga hari.
Kemudian, air yang sudah didiamkan selama seminggu tersebut dipindahkan ke tambak pembenihan.

Proses ini memakan waktu selama sepuluh hari, dan selanjutnya baru bisa dipanen setelah air yang ditampung mengkristal.
Berbeda dengan garam jemur, proses pembuatan garam rebus tergolong lebih mudah, yakni hanya perlu mengendapkan air laut selama beberapa hari.

Proses pengendapan air tersebut bermaksud untuk meningkatkan kadar asin pada air. Setelah itu, air yang diendapkan tersebut ditampung  untuk dimasak di atas kuali dan diaduk-aduk selama empat hingga lima jam sampai menjadi garam.

“Garam jemur sama garam rebus hasilnya beda, tekstur garam jemur lebih kasar dan tidak terlalu putih, kalau garam rebus hasilnya lebih halus dan bersih, bisa langsung dikonsumsi,” ujarnya.

Begitulah seterusnya aktivitas Muslim dalam memproduksi garam secara tradisional di pesisir desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar itu.

“Ya memang setiap hari ini saya lakukan, kecuali hari Jumat, tapi kalau lagi musim hujan saya akan libur sebentar. Sekarang sudah sering libur karena stok yang minta juga lagi kurang selama virus Covid-19,” katanya.

Omzet Produksi Garam Menurun Selama Pandemi Covid-19

Tidak hanya menyerang pada kesehatan saja, pandemi Covid-19 juga menyerang dan mempengaruhi perekonomian masyarakat. Salah satunya pada omzet produksi garam, seperti yang dirasakan oleh Muslim. Dirinya mengalami pemerosotan drastis dalam segi pemasaran, yang berimbas pada produksi garamnya.

Muslim mampu memproduksi hingga 500 kilogram garam dalam seminggu, tetapi selama pandemi virus Corona, dirinya terpaksa harus mengurangi produksi garam hingga setengah dari biasanya. Hal tersebut dikarenakan menurunnya permintaan pasar, akibat banyaknya tempat-tempat usaha yang tutup selama pandemi Covid-19.

“Sebelum ada Covid-19 biasa harganya delapan ribu per kilo untuk garam yang kualitasnya bagus, sekarang turun jadi tujuh ribu. Banyak sekali perubahannya selama virus Covid-19 ini, harganya turun, permintaan pasar pun juga menurun. Jadi saya terpaksa mengurangi pembuatan garam,” ujar Muslim disela-sela aktivitasnya.

Sejauh ini, Garam tradisional hasil produksi Muslim hanya dipasarkan ke kawasan Banda Aceh dan Aceh besar. Dengan cara mengantarnya langsung menggunakan becak kepada agen-agen yang sudah berada di pasar.
Atas dasar itu, Muslim berharap kepada pemerintah agar memberikan sedikit perhatian kepada petani garam, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 ini. Pasalnya, omzet petani garam merosot dratis dari sebelum Covid-19.

“Mudah-mudahan ya, setelah virus Covid-19 ini harga kembali stabil, dan omzet produksi bisa naik lagi,” katanya.[]

Reporter : Rianza Alfandi
Editor : Cut Salma H.A