Kribueng Abi, Diminati Tapi Jarang Ditemui

Sumberpost.com | Pidie – Semua pekerjaan rumah sudah selesai. Waktunya ngabuburit mencari takjil sebagai pelengkap berbuka nanti.

Saya terpikir ingin membeli sebuah makanan khas Pidie yang sudah lama tidak saya cicipi, yaitu Kribueng Abi.

Bersama teman, saya menyusuri seputaran pasar kota Grong-Grong untuk mencari kuliner ini, karena kota itu lebih dekat dari tempat tinggal saya.

Namun setelah berkeliling menyusuri setiap sudut pasar, saya tidak melihat satupun meja yang menjajakan kuliner yang satu ini.

Karena waktu berbuka juga masih lama, akhirnya saya memutuskan untuk menyusuri jalanan lebih jauh lagi, yaitu menuju pasar kota Sigli. Hitung hitung waktu berbuka masih cukup lama, pikir saya begitu.

Dalam perjalanan, saya tidak lupa melewati alun-alun kota Sigli terlebih dahulu sebelum singgah di pasar lagi untuk mencari Kribueng.

Laju sepeda motor saya perlahan melambat saat sampai di titik kota Sigli. Situasi jalanan mulai macet, dipadati dengan masyarakat yang juga ingin mencari takjil.

Begitu pula suasana alun-alun dan pantai pelangi kota Sigli. Walaupun tidak bisa menikmati jajanan seperti biasanya karena sedang berpuasa, tetap saja pusat kota ini menjadi incaran masyarakat Pidie untuk sekedar berleha-leha bersama keluarga dan kerabat.

Kebetulan dari alun-alun ke pasar Sigli bisa satu arah. Jadi tidak susah saya bolak-balik arah lagi menuju pasar.

Langsung saya bergegas menyusuri setiap sudut pasar Sigli. Berkeliling, mulai dari terminal labi-labi hingga pasar ikan, saya belum juga menemukannya.

Sampai akhirnya saya bertanya kepada salah satu pedagang disana. Dimana sebenarnya posisi pedagang makanan legendaris ini, ternyata posisinya tepat disamping tanjakan jembatan menuju Gampong Pante Teungoeh, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie.

Hanya ada satu meja yang terlihat oleh saya yang menjajakan kuliner ini. Sayapun langsung menyambangi laki-laki paruh baya itu, Muhklis (60) yang sedang merapikan dagangannya.

Dengan menggunakan topi Flat Cap, dipadu kemeja garis-garis, membuat laki-laki asal Gampong Puli, Kecamatan Pidie tersebut tampak nyaman dengan gayanya.

Puluhan tangkai anyaman berjejer rapi di atas meja pak Mukhlis, berbentuk pola yang indah dari daun Nipah seperti kubus sehingga mirip siripnya ketupat.

Ternyata Kribueng Abi di pasar kota Sigli maupun Grong-Grong hanya warga Puli yang menjualnya, pak Muhklis mengatakan, belum melihat warga lain yang menjual makanan tersebut.

“Kini hanya warga kami yang masih menjualnya, itupun dapat dihitung jari, tak banyak lagi, dikarenakan tidak bisa membuat tempat itu,” ungkapnya.

Selama bulan Ramadhan, pak Muhklis hanya berjualan di pasar Sigli saja. Tetapi jika hari biasa, pagi ia berjualan di pasar Sigli, kemudian sore pulang ke pasar Grong-Grong untuk melanjutkan dagangannya disana.

Dalam sehari pak Muhklis mampu menjual Kribeung 20 tangkai, hal itu menurun dari hari biasanya yang dapat menjual sampai 30 tangkai. Tetapi pada hari mekmeugang katanya, bisa sampai 600 tangkai.

“Hari makmeugang banyak laku, bisa sampai 3000 butir. Artinya dapat 600 tangkai, dalam satu tangkai 5 butir,” jelasnya.

Dia mengatakan, Kribueng dijual seharga Rp 5.000 pertangkainya, harga itu bertahan tanpa peningkatan selama tujuh tahun terakhir.

Sebenarnya proses pembuatan Kribueng Abi tidaklah sulit. Berbahan dasar beras, kemudian dicuci sampai bersih, ditambahkan santan, gula, dan sedikit garam juga buah nangka sebagai aroma murni. Kemudian dimasak sekitar 30 menit, maka adonan akan matang dan siap dituangkan kedalam daun nipah yang telah dibentuk sebelumnya.

“Setelah dituangkan, kribueng siap dijual ke pasar,” ceritanya sambil melihat kekiri dan kanan, menunggu pembeli yang datang.

Muhammad Ahlul (21), salah satu pembeli yang berasal dari Reubee menjelaskan, bahwa ia setiap tahun rutin membeli makanan legendaris ini.

“Setiap tahun selalu beli, kalau bukan saya yang beli, orang rumah yang beli. Karena semua suka sama rasanya, manis dan enak,” katanya.

Selain bisa dikonsumsi oleh orang dewasa, Kribueng yang sudah termasuk kuliner tradisional Pidie ini, bisa dikonsumsi juga oleh anak-anak balita. Teksturnya yang lembut, memudahkan anak-anak menelan makanan ini. []

Reporter : Saadatul Abadiah

Editor : Uswatul Farida