Rabu Abeh, Tradisi Turun-Temurun Masyarakat Aceh

Sumberpost.com | Banda Aceh – Setiap tahun pada akhir bulan Safar, dalam tarikh Islam, masyarakat pesisir Pantai Barat dan Selatan di provinsi Aceh menjalankan sebuah tradisi yaitu Tolak Bala. Di bumi Serambi Mekkah tolak bala lebih dikenal dengan sebutan “Rabu Abeh” yang berarti hari Rabu terakhir dalam bulan Safar.

Pada tahun ini, pelaksanaan Rabu Abeh jatuh pada hari Rabu, 6 Oktober 2021. Sejumlah tempat di Aceh menggelar tradisi ini dengan melakukan pembacaan doa atau ayat suci Al-Qur’an, baik di masjid, musala, atau surau.

Salah satunya, Balai Pengajian Nurul Huda, yang terletak di Desa Pulau Kayu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya ini turut melaksanakan tradisi Rabu Abeh dengan melakukan pembacaan doa bersama pada malam Rabu, selepas salat isya.

Dengan dipimpin oleh seorang ustad, mereka mengawali kegiatan tersebut dengan beristighfar, bershalawat, membaca surah Al-fatihah, Yasin sebanyak 3 kali, membaca zikir ‘Ya Latif’, serta berdoa.

Pimpinan balai pengajian Nurul Huda, Idris Daud mengatakan, bahwa tradisi Tolak Bala di Aceh bertujuan untuk menjauhkan diri dari berbagai bala atau musibah yang datang.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, bala yang dimaksud bukan hanya sekedar penyakit lahir (badan) atau musibah semata, tetapi segala perbuatan maksiat juga termasuk bala, dan kita berlindung kepada Allah darinya.

“Tradisi ini dilakukan untuk menjauhkan diri dari bala dan segala bentuk perbuatan maksiat,” katanya kepada Sumberpost.com, Kamis (7/10/2021).

Ia juga menjelaskan bahwa, setiap tahun Allah menurunkan berbagai macam bala atau musibah ke bumi baik besar maupun kecil. Dijelaskan dalam beberapa kitab, sebanyak 360.000 musibah turun ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Oleh karenanya, para ulama menyarakan untuk melaksanakan doa bersama serta bersedekah, karena diantara keutamaan dan kekuatan sedekah yaitu mampu menolak bala atau musibah.

Sebagai bentuk sedekah, warga sekitar turut membawa ‘bu kulah’ atau nasi bungkus, kemudian disajikan untuk dimakan bersama.

“Tradisi memakan bu kulah selepas berdoa merupakan bentuk sedekah sehingga dapat menjauhkan diri dari bala, juga bertujuan untuk menyenangkan hati sesama,” tuturnya.

Idris juga menjelaskan, bahwa Allah memberikan kita berbagai ujian dan bala agar kita sadar sehingga mau kembali kepada Allah serta menjauhi maksiat.

Selain pembacaan doa, sebagian warga juga melakukan mandi safar di tempat pemandian umum, seperti sungai ataupun laut, dengan menyisipkan niat disertai doa meminta kesembuhan.

Mandi bersama ini dilakukan sebagai isyarat agar setiap tetes air dari tubuh yang jatuh menjadi simbol gugurnya semua hal yang dianggap mengundang bala.

Perlu diketahui, meskipun tolak bala telah menjadi tradisi yang hampir seluruh masyarakat sepanjang Pantai Barat Selatan Aceh melaksanakannya, namun tetap saja tiap wilayah mempunyai cara tersendiri dalam pelaksanaannya.[]

Reporter : Widdatul Hasanah