Mendambakan Pendidikan Perguruan Tinggi Yang Manusiawi

Sumberpost.com | Banda Aceh – Hari ini kita telah sampai pada masa dengan pola kehidupan yang sangat kompleks, kita disebut-sebut harus berjibaku dengan ragam kemudahan serta kesulitan yang tersedia. Sebagian tokoh menyebut bahwa kita harus bersikap dinamis dengan datangnya era baru yang disebut sebagai era disrupsi.

Saat ini kita jamak menemui hal ihwal baru yang belum pernah kita temui dan rasakan sebelumnya. Pada berbagai aspek kehidupan, kita telah melihat dan meraba secara langsung manifestasi dari pembaharuan sistem yang dianggap telah termodernisasi. Salah satu aspek yang paling menonjol ialah Pendidikan. Indonesia adalah salah satu negara yang telah lama fokus dalam membenahi sistem pendidikan.

Hal tersebut dapat kita lihat melalui reformulasi kurikulum yang dilakukan oleh pihak pemerintahan terkait. Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak sebelas kali, maka hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menciptakan sistem pendidikan yang ideal dan bermutu guna terlahirnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Pada ranah Perguruan Tinggi (PT), kita menyaksikan ragam program telah diprakarsai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang dianggap mampu menyongsong terciptanya sistem pendidikan yang potensial dan relevan dengan perkembangan zaman. Beragam program yang penulis maksud merupakan bagian dari Kampus Merdeka.

Kampus Merdeka lah yang menjadi prinsip serta dasar direalisasikannya ragam program tersebut, semisal program pertukaran mahasiswa merdeka, magang bersertifikat, Indonesian Internasional Student Mobiity (IISMA), studi independen bersertifikat, proyek kemanusiaan, riset atau penelitian dan kampus mengajar. Seluruh program di atas dianggap mampu mewadahi para mahasiswa dalam mengasah dan memaksimalkan potensi yang mereka miliki.

Namun sangat disayangkan, bahwa tidak semua kampus memiliki kesempatan yang sama untuk turut serta menyemarakkan program yang dianggap elok dalam mengembangkan kualitas sumber daya mahasiswa. Justru, program-program yang tersedia, tidak sedikit pun tersentuh oleh beberapa kampus, terutama kampus-kampus yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag).

Bahkan, bisa kita sebut bahwa adanya gap yang sangat signifikan antara kampus-kampus terkemuka dengan kampus lainnya dalam hal mengakses dan memanfaatkan wadah yang disediakan oleh Kemendikbud tersebut. Ini merupakan salah satu masalah fundamental yang sesegera mungkin harus dicari jalan keluarnya.

Sungguh sangat buruk sikap pemerintah bila hanya berfokus untuk memberdayakan mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi terkemuka yang dianggap mampu secara mandiri dalam melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang handal, justru lalai terhadap perguruan tinggi dengan rating dan akreditasi yang masih mengharukan. Dari sini lah awal dan asal terjadinya dehumanisasi dalam dunia pendidikan.

Hari ini, kita juga menyaksikan kekacauan yang terdapat pada sistem pembelajaran di Perguruan Tinggi. Orientasi dari pada prosesi pendidikan semata-mata hanyalah untuk kematangan kognitif para mahasiswa. Padahal, ada hal yang lebih esensial dibandingkan sekadar pengetahuan, yakni nilai, etika dan moral.

Seharusnya, masyarakat kampus niscaya menyepakati bahwa ilmu harus diseimbangkan  dengan keberadaan iman dan amal, karena iman dan amal lah yang dapat menunjukkan kepada ilmu terkait kemaslahatan dan kemudaratan yang ada. Khawatir, bila hanya berfokus kepada ilmu, maka perguruan tinggi hanya akan menjadi wadah perkembangbiakan para koruptor, penghianat, penipu serta penjahat yang akan merusak sistem sosial yang berlaku. Maka, kita semua bertanggung jawab terhadap sistem pembelajaran yang nyaris disfungsi tersebut.

Para pengajar seharusnya lebih ikhlas lagi dalam mendidik para mahasiswa, jangan hanya berfokus kepada usaha penyampaian materi yang kemudian lepas tanggung jawab terhadap pengimplementasian materi tersebut oleh mahasiswa. Maka akan menjadi lebih bernilai ketika pengajar juga menunjukkan kepada para mahasiswa bahwa isi dari pada materi seharusnya dipergunakan untuk hal-hal baik yang memberikan dampak positif kepada sosial masyarakat.

Demikian halnya para mahasiswa juga harus menguatkan ghirah belajarnya untuk dapat berproses secara produktif dan memiliki progres kependidikan yang jelas. Jangan sampai hanya menjadi mahasiswa yang memiliki hobi berdemo dan mengoceh di meja kopi, namun bila ditanyakan hal positif apa yang telah didapatkan selama menjalani proses perkuliahan, justru bingung dan diam seribu kata.

Sebagai mahasiswa, jangan sampai terkurung pada paham dan semangat idealisme yang kemudian lalai terhadap kebutuhan dan realitas yang terdapat di masyarakat. Mahasiswa harus lebih banyak belajar dan berusaha lebih, guna terwujudnya kematangan kognitif yang disertai dengan positifnya afektif, sehingga dapat diandalkan dalam mengupayakan terwujudnya maturasi intelektual dan tamadun dalam masyarakat.

Tulisan ini adalah bahan refleksi bagi penulis pribadi, melalui tulisan ini, penulis menarasikan seluruh unek-unek serta kebingungan yang penulis rasakan selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Sungguh Kemendikbud sebagai motor penggerak dalam dunia pendidikan, niscaya mewujudkan kebijakan-kebijakan konstruktif dan potensial guna lahirnya sumber daya manusia yang Handal secara kognitif dan keterampilan, namun tidak lalai terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Terlebih di tengah era disrupsi yang sangat lekat dengan hal-hal instan dan pragmatis ini, mahasiswa jangan sampai terbelenggu oleh utopia imajiner yang mereka dapatkan dari dunia organisasi, lembaga kemahasiswaan dan atau dunia kampus secara umum. Para mahasiswa harus sadar bahwa di balik kuatnya arus persaingan masa kini, jangan sampai membuat mereka lalai terhadap mirisnya sistem yang berlaku di masyarakat luas, yang terkadang justru menggalakkan terjadinya dehumanisasi atau hilangnya harkat martabat manusia.

Sangat banyak saudara kita yang hidup di luar batas kewajaran dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan masalah seperti ini seharusnya menjadi pembahasan serius di perguruan tinggi guna memompa semangat humanisme para mahasiswa.

Prosesi pembelajaran di perguruan tinggi harus menjadikan kemanusiaan sebagai prinsip pembelajaran, agar kiranya para mahasiswa dapat tumbuh dengan rasa kemanusiaan yang besar, sehingga ke depannya mereka memiliki azam kuat untuk memperbaiki realitas yang terdapat di masyarakat. Jangan sampai mahasiswa hanya berfokus terhadap kesuksesannya sendiri, dan kemudian lupa terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Buya Hamka menyebutkan bahwa pendidikan adalah tonggak peradaban. Peradaban yang terwujud di masyarakat akan berdiri sejajar dengan sistem pendidikan yang berlaku. Tentu kita mendambakan peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga terciptanya kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat.

Peradaban yang mendukung terciptanya masyarakat madani yang damai, tenteram dan sejahtera. Maka, pendidikan yang kita usahakan seharusnya tidak hanya terkurung pada kemewahan kognitif semata, namun yang lebih esensial juga harus menggalakkan nilai-nilai afektif dan spiritualitas, sungguh kebaikan hanya dapat diperoleh dengan cara yang baik. []

Penulis: Rohabdo M.Pazlan Sidauruk (Wakil HMP-Kesos FDK)