Festival Hindu di Tanah Serambi Mekkah

Sumberpost.com | Banda Aceh – Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB. Suasana semakin ramai di Kuil Palani Andawer, Gampong Jawa, Penayong, Minggu (28/4/2019).  Warga Suku Tamil India, mulai datang satu persatu ke dalam kuil.

Kling…Kling…kling, lonceng mulai dibunyikan oleh pendeta. Mereka memulai dengan memanjatkan lagu pemujaan kepada dewa yang mereka yakini, yaitu Dewa Muruga. Mendengar suara tersebut, masyarakat sekitar baik itu dari umat Muslim ataupun umat Kristen berkumpul menyaksikan perayaan Thaipusam.

Thaipusam merupakan festival yang dirayakan oleh orang-orang suku Tamil pada bulan purnama pertama di bulan Thai (Januari/Februari) dalam kalender Tamil.

Ritual dalam festival Thaipusam, Sabtu (28/4/2019)/ Foto: Indra Wijaya

Anak-anak berada di barisan terdepan sebagai penonton, disusul dengan orang tua dan saudara yang mendampingi.

Toleransi sangat terlihat di sini. Meski Banda Aceh merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya adalah pemeluk Islam. Namun demikian, tidak sedikitpun dari warga muslim yang terganggu akibat adanya perayaan Thaipusam tersebut. Apalagi sampai mengganggu. Justru mereka sangat antusias menyaksikan.

Warga baik pemeluk agama Islam maupun Kristen menyaksikan festival Thaipusam, Sabtu (28/4/2019)/ Foto: Indra Wijaya

Pendeta dari umat Hindu, Rada Krisna, kepada Sumberpost.com, mengatakan bahwa, meskipun mereka sebagai kaum minoritas yang ada di Aceh, selama festival berlangsung tidak ada laporan dari umat Islam yang ada di daerah tersebut bahwa mereka terganggu.

“Kalian bisa lihat sendiri bagaimana kondisi perayaan Thaipusam ini. Tidak ada yang merasa terganggu, malah kami saling toleransi,” katanya.

Festival ini berlangsung hingga pukul 12.00 WIB. Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab, karena pada pukul 13.00 WIB masuk waktu shalat zuhur di Aceh dan kewajiban umat Muslim untuk beribadah.

“Acara ini selesainya jam 12.00 siang. Karena jam 13.00 masuk waktu zuhur. Dan kita tetap menjaga toleransi tersebut agar tidak terjadinya konflik, ” tambahnya.

Treng… Tak… Treang..  gendang mulai dipukul. Menandakan acara perayaan Thaipusam dimulai. Acara tersebut diawali dengan mengangkat patung Dewa Muruga ke tepi sungai Jembatan Peunayong. Empat orang pria kekar mengangkat tandu Patung Dewa Muruga.

Sesampai di tepi sungai, mereka melakukan nazar yang disebut dalam Hindu yaitu tenere dan kunggo. Tenere disini ialah menancapkan besi panjang ke bagian pipi hingga tembus dekat pangkal bibir dan juga menancapkan besi di bagian ujung lidah. Sementara kunggo ialah memolesi bubuk ke badan yang dilakukan oleh pendeta.

Suku Tamil melakukan nazar yang disebut Kunggo dalam festival Thaipusam, Sabtu (28/4/2019)/ Foto: Indra Wijaya

“Sebelum melaksanakan Thaipusam, diwajibkan bagi umat Hindu itu berpuasa. Mereka tidak boleh memakan daging, hanya memakan buah dan sayur, ” kata pendeta.

“Untuk tenere ini ialah nazar atau niat yang dipanjatkan umat Hindu untuk merayakan Thaipusam, ” tambahnya.

Setelah selesai, arak-arakan yang dari Jembatan Peunayong mengelilingi Gampong Jawa dimulai. Gendang kembali dipukul. Mereka yang melaksanakan nazar tadi menari dengan eloknya disepanjang jalan. Mereka mengikuti irama gendang dengan indahnya, meskipun mereka bukan seorang penari yang handal.

Tarian ini dilakukan karena merupakan bentuk ekpresi pemujaan kepada Dewa Muruga.

“Kami menari ini ialah sebagai bentuk pemujaan kami kepada Dewa Muruga, ” katanya.

Pada perayaan tersebut, mereka juga melakukan iring-iringan tanpa menggunakan alas kaki. Dan juga selama dalam barisan, mereka dilarang merokok. Hal ini merupakan pantangan yang sudah ada sejak masa leluhur.

Toleransi Beragama
Toleransi beragama yang ditonjolkan pada perayaan Thaipusam. Umat Kristen Tionghoa salah satunya. Mereka melakukan iring-iringan dengan suku Tamil menggunakan Barongsai.

Ada juga warga etnis Tionghoa dan warga Muslim yang turut membantu merapikan rambu Lalu lintas. Mereka merapikan kendaraan yang ada di sekitar, untuk menghindari kemacetan.

Warga Etnis Tionghoa melakukan iring-iringan Barongsai, Sabtu (28/4/2019)/ Foto: Indra Wijaya

Hari menjelang siang, gendang semakin kencang dipukul. Irama dari gendang tersebut seakan menjadi pembakar semangat untuk terus menari. Lantunan syair puja puji tidak berhenti sepanjang jalan menuju kuil Palani Andawer. Tak peduli tua, muda, bahkan hingga anak-anak, mereka terus menari dengan lihai di sepanjang jalan.

Mereka menari seperti artis-artis Bollywood versi Aceh.  Setelah sampai di kuil, festival dilanjutkan dengan pemecahan batok kelapa dengan cara di lempar ke aspal. Lalu disambung dengan makan siang vegetarian dan melaksanakan proses pemandian Patung Dewa Muruga.[]

Reporter: Indra Wijaya