Ini Penjelasan Pihak Balmon Terkait Karya Mahasiswa yang Sempat Disita

Sumberpost.com | Banda Aceh- Menindaklanjuti informasi terkait tindakan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio (Balmon) kelas II Banda Aceh, yang sempat mengamankan karya inovasi mahasiswa UIN Ar-Raniry di Laboratorium kampus tersebut pada hari Kamis (12/3/2020).

Karya yang diamankan merupakan sebuah inovasi mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro (PTE) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Ar-Raniry. 

Karya yang diberi nama Islamic Jammer ini merupakan sebuah alat hasil inovasi mahasiswa yang berfungsi meredam atau menghentikan sinyal handphone dalam masjid selama shalat jamaah berlangsung.

Karya tersebut dianggap dapat mengganggu frekuensi radio/ telekomunikasi, karena sifat dari alat jammer yang dapat menghentikan sinyal.

Klarifikasi Pihak Balmon

Adapun pengamanan ini dilakukan oleh Balmon. Setelah video berita salah satu stasiun televisi yang menayangkan bebarapa mahasiswa perancang alat ini viral di akun media sosial berupa Facebook. Lantaran kerja jamming prinsipnya mengacak sinyal ponsel, sehingga dapat memutuskan komunikasi maka pengamanan ini perlu dilakukan.

Di Indonesia, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang ketentuan operasional.

Salah satu pasal misalnya, pada pasal 32 disebutkan setiap alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang menggunakan frekuensi radio dan sengaja didesain untuk memblokir, mengacaukan/mengacak, dan/atau mengganggu penggunaan spektrum frekuensi radio yang berizin, atau yang dapat menimbulkan gangguan fisik, dan/atau elektromagnetik pada penyelenggaraan telekomunikasi dilarang untuk dibuat, dirakit atau dimasukkan, untuk diperdagangkan, dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan dalam pasal 50, apabila melanggar ketentuan yang dimaksud maka akan dikenakan sanksi pidana 6 tahun penjara atau denda 600 juta rupiah.

Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio kelas II Banda Aceh, M. Jamil mengatakan, selaku penanggung jawab dan ketertiban frekuensi di Aceh, tentu ia harus menindak lanjuti hal itu.

“Hal ini tidak boleh didiamkan. Karena ini pelanggaran hukum, jika saya biarkan, saya kena sanksi juga,” katanya, saat dihubungi oleh Sumberpost.com Jumat malam (13/3/2020).

Jamil juga menjelaskan, alat jamming/jammer ini hampir di seluruh negara tidak diperbolehkan penggunaannya.

“Hampir di seluruh negara tidak boleh digunakannya jamming. Kalau di negara kita, jamming/jammer ini untuk VVIP saja. Untuk kepentingan negara, atau dipakai juga untuk di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),” katanya.

Menurut Jamil, penggunaan jamming/jammer di lapas dipandang perlu karena disinyalir selama ini narapidana seperti bandar narkoba melakukan transaksi peredaran narkoba itu dari dalam.

“Itupun tidak semua lapas. Hanya lapas-lapas besar. Untuk memutuskan komunikasi dari luar. Sehingga walaupun bisa memasukkan handphone tetap tidak bisa melakukan komunikasi,” ujarnya.

Penggunaan jamming untuk lapas itu sendiri, sudah mendapatkan izin dari Kemkominfo selaku administrator telekomunikasi di Indonesia.

“Antara Kemkominfo dan Kemenkumham sudah ada MoUnya dan diawasi ketat. Jadi memang betul-betul sinyal yang teredam harus yang di dalam lapas saja. Penduduk di sekitar lapas tetap dapat melakukan komunikasi,” katanya.

Untuk itu, pengamanan ini kemudian dilakukan oleh pihaknya agar tidak dianggap melakukan pembiaran di lingkungan masyarakat.

“Kalau untuk experimen atau melatih diri tetap gak bisa. Ada jalur lain sebenarnya, tidak dengan jamming,” ujarnya.

Daerah yang dipasangi jamming, akan turut mengirim ke operator seluler, sehingga mereka menerima alarm bahwa adanya interferensi/gangguan.

“Sulit memastikan bahwa jammer ini hanya di dalam ruangan tertentu sementara di samping itu ada masyarakat yang masih membutuhkan komunikasi, tidak mudah untuk melakukan hal ini,” kata Jamil.

Jamil juga menjelaskan, sebenarnya alat berupa karya inovasi milik mahasiswa ini bukan disita. Tapi hanya diamankan. Jika disita, pihaknya tentu akan mengirimkan Surat Peringatan Dimulai Penyelidikan (SPDP).

“Kalau namanya disita, itu langsung diberikan SPDP. Kita ambil barangnya, kita keluar kan SPDP.  Ini tidak. Setelah diamankan datang beberapa orang dari UIN termasuk juga mahasiswa yang ada di lapangan. Kita jelaskan juga, secara baik-baik. Kemudian kita kembalikan lagi alatnya sesuai perjanjian di atas kertas dengan matrai 6000. Cuma saya bilang jangan dilanjutkan lagi program ini. Karena ini merupakan tindakan pidana. Apabila nanti dilakukan kembali artinya kami sudah memberikan informasi,” katanya.

Balmon mengaku melakukan hal ini semata-mata karena tugas dan juga sebagai bentuk upaya pembinaan terhadap masyarakat/mahasiswa, sehingga dapat mengikuti aturan yang ada.

“Tindakan ini semata-mata dalam rangka pembinaan. Dengan harapan kembali lagi sesuai dengan aturan yg berlaku di negara kita,” katanya.

Jamil turut menghargai inovasi dari mahasiswa apalagi hal itu dapat mengembangkan penerus bangsa Aceh.

“Jadi ini murni tindakan pembinaan yang sifatnya persuasif. Barang sudah kami kembalikan, dan diharapkan dijalankan sesuai perjanjian, dalam artian tidak lagi dilanjutkan programnya. Kamipun baik-baik, bahkan berniat untuk melakukan kerjasama apabila nanti ada mahasiswa UIN yang akan melakukan praktek. Hal ini juga sebagai upaya mentransfer ilmu untuk anak-anak Aceh yang merupakan penerus bangsa,” katanya.

Sementara Ketua Program Studi Pendidikan Teknik Elektro, Mawardi mengatakan, secara akademik yang dilakukan oleh mahasiswa ini merupakan sebuah bentuk penelitian.

“Tapi kita lembaga pendidikan, perguruan tinggi, yang harus menjalankan tri dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat,” katanya.

Menurut Mawardi, selama ini, alat tersebut  digunakan dengan jangkauan sesuai kebutuhan. Namun pihaknya memang belum melakukan penelitian lanjutan untuk memastikan pengembangannya baik dan aman.

“Untuk sementara, kami bisa membatasi jarak sesuai kebutuhan. Tapi kami belum meneliti lebih lanjut untuk pengembangan lebih baik dan aman lagi. Alatnya sudah disita, sebelum dikembangkan lebih lanjut, dan tidak bisa dilanjutkan lagi program ini,” katanya.

Bahkan pihaknya juga tidak tahu jika hal ini melanggar, karena sebelumnya tidak ada peringatan.

“Itulah sangat disayangkan. Memang terus terang kami tidak tahu jika hal ini melanggar, karena memang sebelumnya tidak ada peringatan. Kami hanya berpikir positif, ini dilakukan untuk mengembangkan inovasi mahasiswa. Kitapun tidak mau berbenturan dengan hukum,” katanya.[]

Reporter: Cut Salma H.A

Baca juga: