Tembok ‘Berlin’ UIN-Unsyiah dan Sejarah Darussalam (2)

Mewakili suara mahasiswa, Presiden mahasiswa UIN Ar-Raniry, Reza Hendra Putra mengatakan, tentunya mahasiswa tidak ingin hal ini berdampak buruk untuk mahasiswa.

“Kita dari mahasiswa untuk saat ini, nggak pengen juga dari kawan-kawan mahasiswa jadi korban, sehingga ada perpecahan antara mahasiswa UIN dan juga mahasiswa Unsyiah,” katanya, Selasa (11/8/2020).

Meskipun beda almamater, beda kampus, namun mahasiswa tetaplah mahasiswa di manapun berada.

“Kemarin malam kami juga sudah bertemu dengan BEM Unsyiah untuk membahas hal ini, sehingga harapannya dapat menemukan titik terang dan yang terpenting mahasiswa UIN maupun Unsyiah tidak terjadi perpecahan,” ujarnya.

Reza berharap jika pimpinan saat ini belum dapat menunjukkan sikap bijak, maka mahasiswa tetap dapat menunjukkan sikap intelektual sebagaimana seharusnya orang-orang terdidik bersikap.

“Jika mungkin hari ini pimpinan belum bisa menunjukkan sikap bijak, maka mahasiswa jangan sampai melakukan hal tersebut,” katanya.

Menurut Reza, mahasiswa tidak perlu terlalu ikut-ikutan apalagi sampai bersikap anarkis.

“Yang penting jangan ada sikap anarkis. Kita serahkan pada pimpinan-pimpinan kita untuk menyelesaikan persoalan ini.  Sehingga Darussalam tetap damai dan mencerminkan corong pendidikan Aceh ke depan,” kata Reza.

Sejarah Darussalam
Tahun 1963 Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh mengeluarkan sebuah  buku ‘Dokumenter’ yang berisi tentang berbagai peristiwa, fakta dan data terkait dengan kelahiran Kopelma Darussalam.

Buku tersebut berjudul “Darussalam”.  Dalam buku itu membahas tentang sejarah lahirnya Darussalam yang di dalamnya  terdapat tiga perguruan tinggi.

Buku ini juga mengingatkan pada generasi-generasi Aceh saat ini, yang menerangkan bahwa pada abad ke XVI–XVII, Aceh terkenal dalam sejarah dunia yang merupakan salah satu kerajaan terbesar di dunia.

Dalam buku Darussalam, juga dijelaskan bahwa kebesaran Kerajaan Aceh pada saat itu menjadi sangat ditakuti, bukan karena kekuatan angkatan perangnya yang mampu melumpuhkan kekuatan angkatan perang Portugis di Semenanjung Tanah Melayu, akan tetapi Aceh memiliki pemerintahan yang teratur, di mana Sulthan dibantu oleh sarjana-sarjana dalam berbagai ilmu.

Pada abad ke XVI dan XVII itu, Aceh memiliki Guru Besar dan Pujangga seperti Sjech Abdul Chair bin Sjech Ibnu Hadjar, Hamzah Fansuri, Sjamsuddin as Sumatrani, Nuruddin Arraniry dan Abdurrauf as Singkili.

Tujuan Darussalam sendiri yaitu untuk membentuk manusia baru yang berjiwa besar, berpengetahuan luas dan berbudi luhur.

Sementara politik pembangunannya, Darussalam dibangun berdasarkan pada kekuatan rakyat dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

Maka landasan lembaga pendidikan Tinggi Darussalam disusun teguh, di mana Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sebagai lembaga Pendidikan Tinggi bersifat umum.

Sementara Djami’ah Ar-Raniry atau saat ini UIN Ar-Raniry sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Agama.

Serta Pesantren Tinggi Dejah Tgk. Thjik Pante Kulu sebagai lembaga Pendidikan Tinggi untuk mempelajari takhassun (spesialisasi) dalam berbagai bidang ilmu Agama.

Hari ini yang menjadi perselisihan dua kampus tersebut adalah persoalan tanah Kopelma.

Ketua Advokasi UIN Ar-Raniry, Zainuddin T saat konferensi pers Selasa (11/8/2020) juga mengatakan bahwa sebenarnya tanah Kopelma merupakan tanah yang dikuasai oleh negara.

“Persoalan sertifikasi yang dijadikan dasar oleh manajemen Unsyiah merupakan hak pakai bukan hak milik.  Karena rektor bukanlah pihak yang mendapat kuasa tanah atas tanah yang dikuasai negara,” katanya.

Penunjukan batas tanah  yang dilakukan oleh Rektor bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Karena Rektor bukanlah pihak yang mendapat  kuasa tanah atas tanah yang dikuasai negara, sehingga keberadaan sertifikat menjadi batal demi hukum karena penunjukan batas dilakukan oleh pejabat yang tidak diberi wewenang oleh hukum.

“Karena pada saat penunjukan oleh Rektor, statusnya masih dalam tanah yang dikuasai oleh negara. Bukan tanah milik Unsyiah,” katanya.

Sementara hak pakai atas sertifikat sifatnya terbatas sesuai ketentuan PP Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Bahwa Hak pakai bersifat limited paling lama 25 tahun.

Selain membangun tapal batas. Unsyiah juga minta membongkar bangunan milik UIN. Sementara pihak UIN hanya menginginkan bangunan yang sudah didirikan oleh pihak UIN maka tetap menjadi milik UIN dan jalan adalah milik bersama.

“UIN hanya menginginkan bangunan milik UIN yang diminta bongkar oleh Unsyiah. Seluruh bangunan yang dimiliki oleh UIN tetap milik UIN. Sedangkan jalan menjadi jalan bersama bukan yang dimiliki oleh institusi saja,” katanya.

Bangunan UIN yang diminta bongkar oleh Unsyiah merupakan asrama putri yang dibangun pada tahun 1972. Pada saat itu Unsyiah belum memiliki sertifikat. Mengingat sertifikat baru dikeluarkan pada tahun 1992.

Pada saat asrama Putri IAIN (UIN saat ini) dibangun, saat itu seluruh tanah Kopelma Darussalam adalah tanah yang berstatus sebagai tanah yang dikuasai negara. Tanah yang telah disepakati dan disetujui penggunaan yang waktu itu berada dalam manajemen JDKA/YPD.

Sehingga seluruh aset berupa tanah dan juga bangunan adalah penggunaannya milik bersama.

“Jadi pembangunan asrama putri IAIN (kini UIN Ar-Raniry) tidak menyalahi aturan dan tidak dibangun di atas tanah milik Unsyiah. Karena sebelum tahun 1992, Unsyiah belum memiliki dasar hukum apapun untuk menyatakan miliknya,” kata Zainuddin T.[]

Baca juga:

Penulis: Cut Salma H.A
Foto : dok/ist