Kongres Peradaban Aceh II: Kenali Kembali Jati Diri Sebagai Orang Aceh

Sumberpost.com | Banda Aceh – Kehilangan jati diri sebagai orang Aceh agaknya menjadi momok kegelisahan terbesar dalam perjalanan peradaban Aceh saat ini. Bagaimana tidak, maraknya kesibukan-kesibukan instan yang disajikan sosial media membuat kita lebih memuja kebudayaan asing dan lupa mengulik kebudayaan kita sendiri. Dan hal yang paling mirisnya sekarang hanya menjadi sejarah saja.

Paparan-paparan di era ini tentu membuat kita kebingungan layaknya malam kehilangan cahaya bulannya. Kita kebingungan apakah Aceh ada dalam diri kita? dan bagaimana kita menginterpretasikan Aceh dalam berkehidupan. Kaula muda yang diharapkan menjadi penanggung adat tentu harus memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengulik dan menerapkan kembali bagaimana pemikiran-pemikiran orang Aceh dahulu bisa diterapkan di era kecerdasan buatan tanpa menghilangkan falsafah hudep ureung Aceh.

Kongres Peradaban Aceh hadir menjadi penyambung dan pengenal kembali untuk generasi muda Aceh dalam mengenalkan kebudayaan Aceh. Kabar baiknya pelaksanaan Kongres Peradaban Aceh Pertama yang digelar tahun 2015 telah melahirkan susunan ejaan bahasa Aceh yang diharapkan bisa diresmikan di kongres Peradaban Aceh kedua pada bulan Mei mendatang.

Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), Prof Wildan menyampaikan kegelisahan yang melatar belakangi pelaksanaan kongres peradaban Aceh, kurang lebih sudah vakum selama 9 tahun itu. Kegelisahan yang lahir dari kejahilan orang Aceh atas ketidaktahuannya dalam mengaplikasikan Aceh disetiap kehidupan sosial, politik, keagamaan, kelautan, pertanian, dan pendidikan.

“Kehilangan jati diri dalam berbangsa sebagai bangsa Aceh dan berbangsa Indonesia, kita kehilangan adab dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam kehidupan sosial politik, ekonomi, pendidikan, keagamaan, kelautan dan pertanian. Kita mengaku kita orang Aceh tapi, apa yang dimaksud dengan ke-Aceh-an itu kita tidak sadar di banyak aspek,” Jelasnya selaku tuan rumah pelaksanaan Kongres Peradaban Aceh II dalam diskusi dengan komunitas kreatif dan kelompok muda yang diadakan di Sekretariat Aceh Bergerak pada Rabu, (05/03/2024).

Nasionalisme ke Indonesiaan orang Aceh sangat tinggi di bidang bahasa, bagaimana tata kehidupan, cara bertamu, serta cara berteman. Namun, Kita tidak lagi paham dengan cara Peusijuk yang benar, menjadi Seulangke, dan aspek kehidupan yang lain. Ini bagian kecil yang mencerminkan bagaimana orang Aceh itu sendiri, Lanjutnya.

Merespon kegelisahan tersebut, lahir beberapa tanggapan dan pertanyaan dalam forum diskusi yang diisi banyak kaula muda, mengenai siapa pemegang peran terbesar dalam mengenalkan kembali dan membumikan budaya Aceh ini? Kekhawatiran kecilnya ruang berekspresi para seniman dan budayawan Aceh juga menjadi keresahan para pemuda yang ingin berkontribusi untuk Aceh.

Optimistis menjadi salah satu inti jawaban dari keresahan-keresahan terkikisnya budaya Aceh di negerinya sendiri. Dalam menyikapi hal tersebut Prof Wildan membangunkan kembali kesadaran untuk optimis. Bukan apa yang diberikan pihak lain untuk kita, tetapi bagaimana kita berpikir kritis, kemudian berbuat untuk diri sendiri, lingkungan, bahkan ketika dimanapun kita berada.

“Saya orangnya ga pernah pesimis, selalu optimis. Kalau saya, selalu apa yang bisa saya perbuat saat ini untuk diri, untuk lingkungan saya, dimana pun saya berada, itu yang selalu saya tanyakan, tidak pernah menyalahkan orang lain apalagi menyalahkan pemerintah,” jelas Prof Wildan membakar kembali semangat.

Optimistis itu pun kemudian bisa dilihat dari akan terlaksananya Kongres Peradaban Aceh. Dengan harapan akan lahirnya sejarawan dan budayawan yang mampu menyadarkan rakyat Aceh untuk hidup layaknya hidup sebagai orang Aceh dulu, tanpa menghilangkan kemodern-an. Diskusi ini pun ditanggapi dengan kata “senang” dikarenakan masih banyak pemuda yang memiliki perhatian dan apresiasi terhadap kebudayaan Aceh. Akhir dari diskusi ini juga Prof Wildan harapkan agar tetap berlanjut baik dalam bidang keilmuan maupun dalam berkarya.

“Semoga ini tetap berlanjut dalam perspektif ilmu, berketrampilan, berkarya juga dalam aspek sikap. sehingga bisa menghargai sesama, karya diri dan karya orang-orang disekitarnya.” tutup Prof Wildan. []

Reporter : Rina Hayati

Editor : Anzelia Anggrahini