Telusuri Tumbuhnya KeIslamnya di Negeri Tiongkok Lewat Buku “Santri Indonesia di Tiongkok”

Sumberpost.com | Banda Aceh – Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh bersama Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Tiongkok, mengadakan kegiatan bedah buku “Santri Indonesia di Tiongkok”, di aula FDK, Selasa, (19/03/2024).

Pembedah buku pertama yaitu Ahmad Syaifuddin Zuhri menjelaskan, PCINU Tiongkok pertama kali di adakan pada tanggal 20 Agustus 2017 di kota Malang. Pada saat itu, jumlah santri di Tiongkok masih sedikit, terutama dibandingkan dengan sebelum tahun 2015. Mencari WNI yang berjilbab pun sangat sulit pada waktu itu, dan bahkan bisa dihitung dengan jari. Selain itu, mencari makanan halal juga merupakan suatu hal yang sulit.

“Kami 2017, 20 Agustus waktu itu di konferensi cabang pertama dari PCINU Tiongkok, kami adakan di salah satu kota Malang. Setelah itu di 2018, kami mencoba, karena waktu itu santri-santri di Tiongkok itu tidak begitu banyak. Apalagi kalau dibandingkan dengan sebelum 2015, mencari WNI yang berjilbab apalagi sebelum 2015 itu susahnya minta ampun dan bisa dihitung dengan jari. Mencari makanan halal pun susah,” jelas Syaifuddin.

Ia menambahkan setelah tahun 2015, terdapat pertumbuhan yang luar biasa terkait dengan halal dan keislaman di Tiongkok. Hal ini didorong oleh banyaknya WNI yang berkuliah di sana. Potensi inilah yang mendorong pembentukan PCINU Tiongkok pada tahun 2017. Pada tahun 2018, PCINU Tiongkok mulai mengumpulkan para anggotanya untuk menceritakan pengalaman mereka di daerah masing-masing.

“Pasca 2015, saya menyaksikan pertumbuhan terkait dengan halal dan keislaman itu cukup luar biasa. Apalagi banyak WNI Indonesia yang berkuliah di sana. Potensi inilah yang saat ini resmi membentuk PCINU Tiongkok 2017, 2018 kami mencoba mengumpulkan teman-teman untuk bisa menceritakan pengalamannya di daerah masing-masing untuk menulis, dan kami kompilasi dan buku itu terkumpul di 2019,” tambahnya.

Di samping itu, ia juga menjelaskan sebagian penulis buku tersebut adalah mahasiswa Indonesia yang baru tinggal di Tiongkok selama satu semester atau satu tahun. Mereka masih baru dan polos, sehingga mereka dapat menceritakan pengalaman mereka dengan apa adanya. Hal ini disengaja agar buku tersebut dapat memberikan pandangan yang segar dan objektif tentang kehidupan di Tiongkok.

“Sebagian penulis buku tersebut, adalah mahasiswa Indonesia yang baru tinggal satu semester atau satu tahun di Tiongkok. Jadi mereka masih awal-awal di Tiongkok sehingga masih polos-polosnya, dan itu yang memang kita inginkan. Karena mereka mengetahui dengan apa adanya,” jelasnya kembali.

Lalu, pembedah buku kedua, salah satu dosen Program Studi (Prodi), Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fahri mengungkapkan kekagumannya terhadap buku tersebut. Menurutnya, selama ini santri sering distereotipkan sebagai orang yang tidak modern, kuno, kampungan, dan tidak mengerti apa-apa. Namun, buku ini menunjukkan bahwa santri telah memiliki posisi yang luar biasa.

Kemudian, ia melanjutkan dengan mengkritik judul buku tersebut, namun dia juga memberikan masukan. Menurutnya, judul tersebut sulit dipahami oleh orang yang tidak mengerti konteksnya, tetapi bagi yang mengerti, judul tersebut sangat menarik.

“Pertama kali saya kritik itu adalah judulnya, tapi juga sekaligus masukan. Judulnya ini kalau orang tidak mengerti susah dia, tapi kalau orang ngerti luar biasa menarik,” lanjutnya.

Fahri juga mengkritik dua hal dari buku tersebut. Pertama, judulnya, yang menurutnya sulit dipahami orang awam. Kedua, warnanya. Meskipun begitu, Fahri memuji desain sampul buku tersebut. Ia tidak tahu filosofi di balik lambang-lambang yang ada di sana, tetapi ia melihat bahwa warna kuning, masjid, pura, gereja, dan merah memiliki makna positif dalam budaya Tiongkok dan Islam. Ia menilai perpaduan filosofi Tiongkok dan Islam dalam desain sampul buku tersebut sangat cocok.

“Yang kedua, warnanya. Buku ini warnanya menarik sekali. Saya tidak tahu filosofi dari lambang yang ada di sini. Ada warna kuning, masjid, pura, gereja lalu warna merah. Jadi filosofi orang China kalau warna merah itu menguntungkan, warna kuning hampir sama seperti itu. Di dalam islam juga warna merah itu sangat positif keberanian, energi, semangat, dan percepata. Jadi cocok sekali filosofi china ini diintegrasi dengan Islam,“ tambahnya.

Fahri juga mengomentari isi buku tersebut. Ia tertarik dengan topik toleransi di Tiongkok. Menurutnya, Tiongkok memiliki 58 suku dan konstitusi negara tersebut menganut politik persamaan bangsa. Hal ini berarti tidak ada diskriminasi antara suku besar dan kecil. Fahri juga membahas peraturan di Tiongkok yang membatasi satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Akan tetapi aturan ini tidak berlaku bagi orang Muslim.

“Ketiga isinya juga menarik, bagi saya yang menarik adalah toleransi. Jadi di China ini ada 58 suku. Ada prinsip China konstitusinya itu politik persamaan bangsa. Politik ini antara suku besar dengan suku kecil itu tidak ada diskriminasi, itu yang menarik pertama. Yang kedua ada peraturan China pada penduduknya yang sudah 1,4 miliar, jadi orang komunis itu satu keluarga satu anak kalau lebih dia kena tendang sama seperti Singapura. Tapi itu tidak berlaku sama orang muslim,” jelasnya.

Fahri menutu, refleksi buku ini akan diarahkan ke pelajar UIN Ar-Raniry.

“Dan yang terakhir refleksi buku ini, saya akan arahnya ikut ke pelajar-pelajar UIN Ar-Raniry agar manfaatkan forum ini,” pungkasnya.[]

Reporter: Lukluk Chasanah
Editor: Julia Makhrami