Mengenang Pelanggaran HAM Berat 20 Tahun Silam di Aceh

Sumberpost.com | Banda Aceh – Mengingat perdamaian Aceh sejak 15 Agustus tahun 2005 silam, bukanlah waktu yang mudah bagi daerah Aceh yang merupakan salah satu daerah konflik. Masa-masa ini merupakan masa yang mencekam dan pahit bagi para masyarakat Aceh yang membuat krisis akan hak asasi manusia pada masa itu. Sehingga hal demikian membentuk pola pikir para korban bertanya-tanya, untuk menuju perdamaian perlukah nyawa yang tak bersalah dikorbankan?

Mendekati angka 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tepat pada 17 Mei 2003 telah terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh TNI/POLRI kepada warga sipil yang banyak menelan korban jiwa di desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di balik langit pagi kelabu yang menyimpan sejuta kepedihan merupakan pagi yang tidak pernah diinginkan oleh para korban. Kesetanan aparat yang membabi-buta membuat nyawa manusia yang tidak bersalah melayang hanya menyisakan kehilangan, kepedihan, kemarahan untuk keluarga korban yang ditinggalkan.

Selang dua hari pasca tragedi Jambo Keupok, diterapkan pula keputusan presiden yang pada saat itu menjabat Megawati (Keppres) No. 28/2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menciptakan law as aliby seolah memberikan jalan kepada militer untuk melanjutkan aksi pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang dengan berkedok untuk “memulihkan” keamanan di Aceh Darussalam.

Perjanjian damai sudah digaungkan dengan rayuan – rayuan omong kosong pemerintah, dimulai dengan dibentuknya BRA (Badan Reintegrasi Aceh) lembaga resmi pemerintah yang mengurus masalah reintegrasi proses perdamaian di Aceh namun hanya cangkang nya saja yang terlihat isinya tidak ada. Pemerintah seolah buta dan tuli setelah memberikan harapan dan janji palsu kepada korban, kemudian proses pengungkapan kejahatan perang yang dilakukan oleh lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh yang digadang-gadang menjadi harapan untuk memenuhi sebagian hak-hak korban sampai saat ini masih tidak ada hasilnya.

20 tahun sejak terjadinya tragedi berdarah Jambo Keupok hingga saat ini inner hurt yang melekat dalam kehidupan para korban belum sembuh, ingatan pada saat itu level kemanusiaan pernah sangat rendah dimana sesama anak bangsa yang termasuk warga negara Republik Indonesia saling berhadapan, membunuh tanpa belas kasih. Hingga saat ini keadilan belum ditegakkan, kehidupan para korban setelah tragedi ini hidup dibawah ketidaklayakan, keadilan yang amburadul, penuntasan dan penyelesaian kasus yang berbelit. Tentu tragedi ini bukan hanya untuk dikenang sebagai sejarah tetapi butuh kepastian hukum untuk para korban sebagai jaminan di masa mendatang.

Negara memang sudah mengakui dan menyesali atas terjadi nya tragedi pelanggaran HAM berat. Ada 12 tragedi yang di akui salah satunya tragedi Jambo Keupok namun pengakuan tanpa ada upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat hanya akan menambah garam pada luka yang dirasakan korban dan keluarga bila tidak ada tindak lanjut yang lebih konkret.

Yang dibutuhkan oleh para korban bukan hanya sekedar pengakuan dan rasa empati namun pembuktian untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ini harus benar-benar terealisasikan dan jelas, mengedepankan pengungkapan kebenaran, pemulihan, dan ketidakberdayaan. Bukan hanya memperalat korban untuk melegitimasi formalitas “penyelesaian” di luar saja tanpa serius memperdulikan substansi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Sudah cukup banyak lembaga-lembaga negara yang menyuarakan untuk pemulihan bagi para korban yang dimulai sejak awal reformasi, bukti nyata Komnas HAM yang memberikan berkas hasil penyelidikan terkait tragedi Jambo Keupok yang berisi beberapa pihak-pihak yang perlu dimintai pertanggung jawaban atas terjadinya kasus ini ke kejaksaan agung yang bertugas sebagai penyidik untuk mengusut tuntas kasus ini.

Namun nyatanya keadilan tidak berpihak pada kebenaran, berkas itu ditolak atau dikembalikan ke Komnas HAM dengan dalih buktinya belum mencukupi dapat dilihat negara seolah-olah mempersulit jalan Komnas HAM untuk memberikan hak-hak untuk para korban, hingga saat ini belum ada terobosan yang memihak kepada korban dari pengusutan kasus ini.

Perlu dilihat bahwa sikap pemerintah sangat membingungkan di satu sisi negara menyatakan pengakuan dan penyesalan yang mana negara membenarkan terjadinya pelanggaran HAM berat namun di sisi lain berkas perkaranya ditolak karena tidak memiliki cukup bukti. Tragedi ini tidak bisa dibenarkan mengingat arogansinya aparat negara baik TNI/polri dan negara harus terus mengawal jalannya kasus supaya untuk mengobati rasa ketidakadilan para korban.

Pengakuan tanpa adanya pembuktian seperti omong kosong belaka pemenuhan hak-hak korban bukan hanya dengan memberikan dukungan finansial yang tidak jelas dan pembangunan yang tidak merata melainkan perlu ada tindak lanjut dari pemerintah bagi pelaku-pelaku yang terlibat dalam tragedi Jambo Keupok yang sampai sekarang belum terealisasikan.

Dalam hal ini, pemerintah harusnya hadir dengan tindakan dan perbuatan yang memberikan kepastian hukum seperti, menindak lanjuti secara efektif hasil penyelidikan yang telah atau yang sedang maupun yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga penegakan HAM terutama Komnas HAM, seluruh tindak kekerasan dan pelanggaran serius yang terjadi di masa lalu harus diselesaikan secara hukum dan diiringi dengan memberikan perlindungan kepada warga yang menjadi saksi ataupun korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia beserta anggotanya. Pemerintah juga harus terbuka terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM terutama di Aceh, apa yang sebenarnya terjadi di Aceh. Dengan begitu proses penyelidikan pemerintah ataupun non- pemerintah dilakukan secara transparan dan bersungguh-sungguh.

Kejahatan bukan untuk dibenarkan dan dikenang, Indonesia negara hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk membela warga negara nya yang tidak mendapat keadilan. Alfatihah untuk para korban.

Penulis: Zuhra Julia